Musim hujan di Jakarta, identik dengan musim dingin. Maka, saya bersibuk-sibuk membuka laci-laci lemari. Membongkar jaket, vest, sweater, dll. Biar Kelihatan keren, dong. Yang sibuk bergaya ternyata bukan hanya saya. Sepertinya semua orang. Fashionista Jakarta seperti sedang menghadapi winter di Eropa.
Kecuali Februari tahun ini, musim hujan di tahun-tahun lalu suka menipu. Suka-suka bikin saya salah kostum. Pagi mendung, hujan lebat. Siang terang benderang, sore panas minta ampun. Padahal kostum sudah sangat disesuaikan seolah suhu udara akan terus menurun hingga 5 derajat Celcius. Wah, jadi salah kostum, kan? Kasihan, deh.
Di awal-awal musim hujan tahun ini, saya masih bersemangat berganti-ganti kostum. Dari mulai sepatu hingga penutup kepala. Bally saya bungkus, Cat saya keluarkan. Zarra saya lipat, Benetton saya gelar. (Hahaha, pamer bener. Seolah metroseksual sejati. Padahal belanjanya di Factory Outlet).
Tapi ketika banjir menjadi bonus dari petualangan fashion musim hujan, semua jadi senewen. Air menggenang di mana-mana. Lumpur siap mengintai juga. Adrenalin untuk bergaya dari mall ke mall, luruh seiring simpati mendalam pada para korban banjir.
Maka, saya apathis. Terserah mau dandan bagaimana juga. Untung kantor saya bukan di sebuah gedung mentereng di Sudirman. Maka saya simpan beberapa baju, celana panjang, sepatu, kaus kaki, dll di kantor. Supaya jika mesti ketemu klien, tinggal comot saja mana pakaian yang pantas saya kenakan. Selebihnya, saya hanya bercelana pendek dan bersendal jepit.
Comments