Skip to main content

Obsesi Rambut Panjang


Saya selalu mengidamkan memiliki rambut panjang. Ya, tak harus sepanjang rambut Dewi Yull atau Amy Search. Minimal bisa dikuncir. Kesannya cool, biarpun orang melihatnya mungkin norak-norak bergembira.

Setiap kali rambut sudah mulai panjang, ada-ada saja godaan untuk pergi ke barber shop. Habisnya, rambut saya jika panjang sedikit saja sudah mulai terlihat bergelombang seperti ombak pantai selatan. Sementara saya tak suka sisiran. Walhasil, penampilan rambut saya laksana sarang kalkun yang mengembang, lebih dasyat dari pada sekedar sasak Mien Sugandi. Dari pada tertangkap fashion polis yang belakangan makin meraja lela di seantero Jakarta, saya memilih jalan aman.

Tapi setiap kali keluar dari barber shop, penyesalan saya sedemikian dalam. Bahkan lebih dalam dari pada penyesalan ketika pertama kali saya melakukan zina pertama. Dampak penyesalan itu pun mempengaruhi nafsu makan. Saya jadi sangat rakus. Lihat saja, badan saya sudah lebih mirip beruang madu daripada panda yang imut.

Suatu ketika saya pernah sangat senang karena bisa bertahan untuk tidak potong rambut. Seorang sahabat menyarankan agar saya me-rebonding agar ombak-ombak lautan teduh di kepala saya bisa lempeng selempeng bantaran kanal banjir timur. Iya, cakeup.

Dengan penampilan baru itu, kemana pun saya pergi, pandangan orang seperti tak lepas dari saya. Saya jadi pusat perhatian. Mungkin selama ini mereka hanya bisa menikmati penampilan Tom Cruise di Bioskop Trans TV. Ketika melihat saya, mereka seolah tak percaya bahwa mantan suami Nicole Kidman itu terlihat keluar masuk warteg dan naik turun bajaj di jalanan Jakarta.

Diam-diam mereka meributkan penampilan saya. Mereka membahasnya di berbagai milis, mereka menulis di blog, bahkan beberapa kali majalah Tatler secara snapshot mempublikasikan gaya saya. Semua pria jadi ikut-ikutan terobsesi mengikuti gaya rambut saya. Saya jadi jengah. Saya bosan dengan dampak yang terjadi.

Lalu saya putuskan untuk kembali ke penampilan semula. Saya potong pendek rambut saya. Jadi warga biasa rupanya lebih menyenangkan.

Hahah. Hanya sebuah lelucon.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.