Skip to main content

Saya Mengoleksi Pasir Pantai dari Penjuru Dunia


Jika ditanya mana yang lebih saya sukai: laut, pegunungan, atau city scape? Terus terang, saya tak bisa menjawab dengan lantang. Saya menyukai semuanya. Saya akan senang tersesat di belantara New York, sama senangnya ketika jumpalitan menyelamatkan diri di hutan seram Kilimanjaro. Saya akan menikmati hangat matahari di atas Nias, senikmat matahari Maldives yang membakar kulit.

Namun laut selalu membuat saya larut. Saya suka menyelam di kedalaman atau mengambang di atas gelombang. Satu hal yang paling menyenangkan adalah saya mengoleksi pasir pantai dari segala penjuru dunia!

Pasir pertama yang saya koleksi adalah pasir kemiri pantai Kuta, Lombok Selatan sekitar tahun 1998. Saya tak berhenti berdecak kagum. Sempat terpikir bagaimana pasir ini bisa terbentuk? Saya masukkan pasir itu dalam toples. Karena trip saya lanjutkan ke Bali, saya punya kesempatan untuk kembali mendapatkan pasir dari sejumlah pantai: Kuta dan Sanur. Rupanya, pasir Sanur dan Kuta Lombok memiliki kesamaan.

Seorang sahabat yang bertemu di Bali dalam perjalanan yang sama, hendak mengunjungi pulau Bangka. Ia menawari saya pasir putih sebuah pantai di pulau itu. Ya, saya mendaatkannya beberapa minggu kemudian.

Selebihnya, setiap kali saya pergi ke pantai, tak lupa selalu menjemput barang sebotol pasir. Saya akan tulisi nama pantainya dan kapan pasir itu diambil.

Beberapa sahabat yang tahu hobby saya, dengan senang hati mereka membawakan oleh-oleh pasir dari berbagai pantai yang mereka kunjungi: Sumatra, Kalimantan, Sumba, Sulawesi, Afrika, Eropa, Amerika... Satu hal yang sering saya lakukan, setiap kali saya menerima pasir dari mereka, saya selalu berucap, "Lain kali, saya yang akan ambil pasir ini sendiri dari asalnya." Beberapa kali kejadian.

Namun saya tak selalu mengumpulkan pasir dari sekitar pantai saja. Pun dari puncak-puncak gunung yang saya daki. Saya juga mengambil pasir dari pemakaman raja-raja di Imogiri, Yogya. Hingga pasir lumpur di goa Buniayu, Sukabumi.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.