Skip to main content

Ssst...! Ini Rahasia, ya!


Adakah rahasia yang tak terbagi?

Saya pernah hidup dengan banyak rahasia. Sebetunya mungkin hanya ketidaksudian saya berbuka cerita dengan orang lain. Ketika menyadari hal itu hanya membuat saya tak leluasa, akhirnya saya ikhlaskan saja ada orang-orang yang tahu tentang saya.

Saya pernah mengintip orang mandi. Ya, itu salah satu rahasia yang saya umbar. Saya pernah mencuri penghapus di Gunung Agung, itu juga rahasia saya. Saya pernah punya nilai D di salah satu mata kuliah. Saya pernah makan kue sus tak bayar di kanton sekolah. Saya juga banyak di taksir pria.

Saya bukan seorang ekstrovert dari dulu. Hal-hal negatif yang menimpa saya, bisa sangat membuat saya down jika diketehui oleh orang lain. Saya menilai semua itu adalah rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Namun kemudian saya berpikir untuk tak mau terganggu dengan rahasia-rahasia.

Saya bukan ingin mengundang semua orang untuk tahu segala sisik melik tentang diri dan hidup saya. Dalam hidup, tentu saja saya pernah melakukan kebodohan, kesalahan, hingga hal-hal yang mungkin sangat memalukan. Pernah mungkin saya sangat menyesali mengapa kejadian-kejadian itu sampai melibatkan saya.

Namun menyesali hal yang sudah terjadi hanya membuat gelisah berkepanjangan. Mencoba menutupi segala kekurangan pun hanya akan membuat derita tiada akhir.

Kini saya memilih wajar apa adanya. Biar saja orang mencari tahu. Biar saja orang bicara tentang yang mereka tahu. Jikapun kemudian mereka membuat kesimpulan keliru, saya tak akan membuang energi untuk membuat klarifikasi. Santai saja.

Saya tak berusaha menutupi apa yang telah terjadi. Dengan cara seperti itu, saya justeru hanya mau melakukan hal-hal baik saja tanpa berusaha untuk terlalu hati-hati. Tanpa harus memproklamirkan segala kekurangan yang saya miliki, saya akan biarkan saja semua kemungkinan jika ada orang yang sengaja atau tidak sengaja tahu segala sesuatu tentang saya. Hingga saya akan ringan hati menghadapinya.

Banyak sahabat di luar sana bingung dengan rahasia yang ia punya atau yang ia tahu. Makanya kemudian mereka bergosip. Membicarakan masalah yang dihadapi orang lain. Padahal suatu waktu, justeru mereka sendiri yang digosipkan oleh orang lain.

Dudun, sebut saja begitu, pernah menjadi teman sekantor saya. Ia membangunkan saya suatu malam dengan dering handphone-nya. Ia ingin bercerita. Ia sangat marah sama isterinya. Ia merasa isterinya telah mengkhianati. Maka menggelontorlah segala keburukan pasangannya itu. Tidak itu saja, dia juga bercerita betapa keluarga isterinya begini begitu. "Tapi, please. Jangan bilang-bilang siapa lagi." Dudun mengaku masih sayang sama isterinya. Hanya saja ia sedang galau. Saya maklum. Satu hal yang saya tak bisa janjikan kepada Dudun, apakah cerita itu tak akan menjadi gossip di kantor padahal saat itu saya dan teman-teman kantor lainnya sedang piknik bersama dan saya mendengarkan keluhan dia dengan menggunakan speaker!


Mimi, salah seorang sahabat, nama samaran tentunya, suatu kali berbisik.
"Si Nina ternyata cuma dijadikan isteri kedua."
Saya merendahkan telinga. Ingin mendengarkan kelanjutan berita tersebut. Nina sahabat kami, baru saja melangsungkan pernikahan.
"Sst, jangan bilang siapa-siapa."
Saya kembali menegakkan badan. Kok, pakai syarat?
"Tahu dari mana?" tanya saya penasaran.
"Nina."

Oh, Nina bilang sendiri... Saya manggut-manggut. Padahal, cerita tentang Nina sudah saya dengar dari Maria. Maria mengaku mendengar cerita tersebut justeru dari Mimi.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.