Adakah rahasia yang tak terbagi?
Saya pernah hidup dengan banyak rahasia. Sebetunya mungkin hanya ketidaksudian saya berbuka cerita dengan orang lain. Ketika menyadari hal itu hanya membuat saya tak leluasa, akhirnya saya ikhlaskan saja ada orang-orang yang tahu tentang saya.
Saya pernah mengintip orang mandi. Ya, itu salah satu rahasia yang saya umbar. Saya pernah mencuri penghapus di Gunung Agung, itu juga rahasia saya. Saya pernah punya nilai D di salah satu mata kuliah. Saya pernah makan kue sus tak bayar di kanton sekolah. Saya juga banyak di taksir pria.
Saya bukan seorang ekstrovert dari dulu. Hal-hal negatif yang menimpa saya, bisa sangat membuat saya down jika diketehui oleh orang lain. Saya menilai semua itu adalah rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Namun kemudian saya berpikir untuk tak mau terganggu dengan rahasia-rahasia.
Saya bukan ingin mengundang semua orang untuk tahu segala sisik melik tentang diri dan hidup saya. Dalam hidup, tentu saja saya pernah melakukan kebodohan, kesalahan, hingga hal-hal yang mungkin sangat memalukan. Pernah mungkin saya sangat menyesali mengapa kejadian-kejadian itu sampai melibatkan saya.
Namun menyesali hal yang sudah terjadi hanya membuat gelisah berkepanjangan. Mencoba menutupi segala kekurangan pun hanya akan membuat derita tiada akhir.
Kini saya memilih wajar apa adanya. Biar saja orang mencari tahu. Biar saja orang bicara tentang yang mereka tahu. Jikapun kemudian mereka membuat kesimpulan keliru, saya tak akan membuang energi untuk membuat klarifikasi. Santai saja.
Saya tak berusaha menutupi apa yang telah terjadi. Dengan cara seperti itu, saya justeru hanya mau melakukan hal-hal baik saja tanpa berusaha untuk terlalu hati-hati. Tanpa harus memproklamirkan segala kekurangan yang saya miliki, saya akan biarkan saja semua kemungkinan jika ada orang yang sengaja atau tidak sengaja tahu segala sesuatu tentang saya. Hingga saya akan ringan hati menghadapinya.
Banyak sahabat di luar sana bingung dengan rahasia yang ia punya atau yang ia tahu. Makanya kemudian mereka bergosip. Membicarakan masalah yang dihadapi orang lain. Padahal suatu waktu, justeru mereka sendiri yang digosipkan oleh orang lain.
Dudun, sebut saja begitu, pernah menjadi teman sekantor saya. Ia membangunkan saya suatu malam dengan dering handphone-nya. Ia ingin bercerita. Ia sangat marah sama isterinya. Ia merasa isterinya telah mengkhianati. Maka menggelontorlah segala keburukan pasangannya itu. Tidak itu saja, dia juga bercerita betapa keluarga isterinya begini begitu. "Tapi, please. Jangan bilang-bilang siapa lagi." Dudun mengaku masih sayang sama isterinya. Hanya saja ia sedang galau. Saya maklum. Satu hal yang saya tak bisa janjikan kepada Dudun, apakah cerita itu tak akan menjadi gossip di kantor padahal saat itu saya dan teman-teman kantor lainnya sedang piknik bersama dan saya mendengarkan keluhan dia dengan menggunakan speaker!
Mimi, salah seorang sahabat, nama samaran tentunya, suatu kali berbisik.
"Si Nina ternyata cuma dijadikan isteri kedua."
Saya merendahkan telinga. Ingin mendengarkan kelanjutan berita tersebut. Nina sahabat kami, baru saja melangsungkan pernikahan.
"Sst, jangan bilang siapa-siapa."
Saya kembali menegakkan badan. Kok, pakai syarat?
"Tahu dari mana?" tanya saya penasaran.
"Nina."
Oh, Nina bilang sendiri... Saya manggut-manggut. Padahal, cerita tentang Nina sudah saya dengar dari Maria. Maria mengaku mendengar cerita tersebut justeru dari Mimi.
Saya pernah hidup dengan banyak rahasia. Sebetunya mungkin hanya ketidaksudian saya berbuka cerita dengan orang lain. Ketika menyadari hal itu hanya membuat saya tak leluasa, akhirnya saya ikhlaskan saja ada orang-orang yang tahu tentang saya.
Saya pernah mengintip orang mandi. Ya, itu salah satu rahasia yang saya umbar. Saya pernah mencuri penghapus di Gunung Agung, itu juga rahasia saya. Saya pernah punya nilai D di salah satu mata kuliah. Saya pernah makan kue sus tak bayar di kanton sekolah. Saya juga banyak di taksir pria.
Saya bukan seorang ekstrovert dari dulu. Hal-hal negatif yang menimpa saya, bisa sangat membuat saya down jika diketehui oleh orang lain. Saya menilai semua itu adalah rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Namun kemudian saya berpikir untuk tak mau terganggu dengan rahasia-rahasia.
Saya bukan ingin mengundang semua orang untuk tahu segala sisik melik tentang diri dan hidup saya. Dalam hidup, tentu saja saya pernah melakukan kebodohan, kesalahan, hingga hal-hal yang mungkin sangat memalukan. Pernah mungkin saya sangat menyesali mengapa kejadian-kejadian itu sampai melibatkan saya.
Namun menyesali hal yang sudah terjadi hanya membuat gelisah berkepanjangan. Mencoba menutupi segala kekurangan pun hanya akan membuat derita tiada akhir.
Kini saya memilih wajar apa adanya. Biar saja orang mencari tahu. Biar saja orang bicara tentang yang mereka tahu. Jikapun kemudian mereka membuat kesimpulan keliru, saya tak akan membuang energi untuk membuat klarifikasi. Santai saja.
Saya tak berusaha menutupi apa yang telah terjadi. Dengan cara seperti itu, saya justeru hanya mau melakukan hal-hal baik saja tanpa berusaha untuk terlalu hati-hati. Tanpa harus memproklamirkan segala kekurangan yang saya miliki, saya akan biarkan saja semua kemungkinan jika ada orang yang sengaja atau tidak sengaja tahu segala sesuatu tentang saya. Hingga saya akan ringan hati menghadapinya.
Banyak sahabat di luar sana bingung dengan rahasia yang ia punya atau yang ia tahu. Makanya kemudian mereka bergosip. Membicarakan masalah yang dihadapi orang lain. Padahal suatu waktu, justeru mereka sendiri yang digosipkan oleh orang lain.
Dudun, sebut saja begitu, pernah menjadi teman sekantor saya. Ia membangunkan saya suatu malam dengan dering handphone-nya. Ia ingin bercerita. Ia sangat marah sama isterinya. Ia merasa isterinya telah mengkhianati. Maka menggelontorlah segala keburukan pasangannya itu. Tidak itu saja, dia juga bercerita betapa keluarga isterinya begini begitu. "Tapi, please. Jangan bilang-bilang siapa lagi." Dudun mengaku masih sayang sama isterinya. Hanya saja ia sedang galau. Saya maklum. Satu hal yang saya tak bisa janjikan kepada Dudun, apakah cerita itu tak akan menjadi gossip di kantor padahal saat itu saya dan teman-teman kantor lainnya sedang piknik bersama dan saya mendengarkan keluhan dia dengan menggunakan speaker!
Mimi, salah seorang sahabat, nama samaran tentunya, suatu kali berbisik.
"Si Nina ternyata cuma dijadikan isteri kedua."
Saya merendahkan telinga. Ingin mendengarkan kelanjutan berita tersebut. Nina sahabat kami, baru saja melangsungkan pernikahan.
"Sst, jangan bilang siapa-siapa."
Saya kembali menegakkan badan. Kok, pakai syarat?
"Tahu dari mana?" tanya saya penasaran.
"Nina."
Oh, Nina bilang sendiri... Saya manggut-manggut. Padahal, cerita tentang Nina sudah saya dengar dari Maria. Maria mengaku mendengar cerita tersebut justeru dari Mimi.
Comments