Skip to main content

Thirty Something and Hey, What Should I Be?

Lulus SMA, kuliah, bekerja, bekerja, dan bekerja. Tiba-tiba ketika saya sudah mencapai titik tertentu dalam karir, saya tersentak. Apakah karir yang sedang saya jalani saat itu betul-betul profesi dan bidang pekerjaan yang saya inginkan.

Hati saya galau. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang saya minati? Bagaimana dengan karir yang sudah bertahun-tahun saya lalui?

Mengakali agar saya tidak terlalu terpaku pada pekerjaan yang makin lama makin membosankan, saya giat mencari kesibukan di tempat lain. Sebagai penyeimbang. Kursus iini, itu. Gabung di klub ini, itu. Sementara saya bisa atasi. Namun berikutnya jadi tambah kacau. Saya seperti sedang mengulur waktu saja pada persoalan belum terpecahkan.

I am thirty something and still have no idea about my career. What should I be? Apakah saya telah salah mengambil jurusan waktu kuliah? Lalu kesalahan itu berlanjut seolah telah menjadi semacam kutukan hingga bidang pekerjaan yang saya tekuni pun seragam.

Apakah terlambat jika saya kemudian saya mendengarkan hati, menuruti hati, lalu bertindak? Saya merasa bahwa seharusnya pekerjaan itu adalah gaya hidup saya, bukan sebaliknya. Saya ingin pekerjaan yang memang betul-betul minat dan cinta. Supaya apa yang dihasilkan sungguh-sungguh refleksi dari cinta dan kesungguhan.

Have you questioned yourself, are you sure with the career you hold now?





Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.