Skip to main content

Apa Kabar Tiara Lestari?




Suatu sore, Tiara berkunjung kantor saya. Perutnya sudah sangat buncit. "Enam bulan," jawabnya ceria ketika saya tanya. Terakhir saya bertemu dia ketika usia kehamilannya baru tiga bulan. Hari itu ada pemotretan oleh majalah Tempo. Saya membantu mengarahkan gaya selama pemotretan.

Tentang kehamilan Tiara, belum ada media yang mengekspos. Kabar ini memang sengaja ditahan, menunggu waktu yang tepat. Kebetulan tanggal 1 April 2007, Tiara akan meluncurkan buku pertamanya. Novel semi biografi, katanya. "Ini foto buatan kamu, Sep." Tiara menunjukkan buku yang akan diluncurkan itu. Tentu saya senang. Saya ingat, foto yang dijadikan cover adalah potret Tiara karya saya yang dibuat di sebuah pantai di Bali pada Januari 2006.

Ketika heboh ada model asal Indonesia tampil di Playboy terbitan Spanyol di tahun 2005, saya sempat melihat foto-fotonya di internet. Tak menyangka, beberapa waktu kemudian saya terlibat dalam tim kreatifnya: sesi pemotretan, video dokumentasi, hingga bagaimana strategi branding dan image building Tiara. Background saya memang dari multimedia dan komunikasi, sepertinya klop sekali.


Sepulang dari pemotretan di Bali, kami jadi sering bertemu. Kami menjadi dekat satu sama lain. Tak sekedar diskusi mengenai strategi komunikasi, juga marketing, juga curhat-curhatan tentang masa lalu, dan segala mimpi-mimpinya ke depan.

Saat itu Tiara sedang dekat dengan seseorang. 12 Januari 2006 itu juga, Tiara dilamar oleh kekasihnya. Kami membuat surprise party. Sepulang dinner berdua, mereka pulang. Di rumah, saya dan beberapa tamu lain sudah menyiapkan beberapa hal. Ruangan penuh bunga, lilin, dan hidden camera. Saat itulah Tiara dilamar.



12 Februari 2006, bertepatan dengan hari ulang tahun saya, keluarga kekasih Tiara secara resmi melamar Tiara. Lalu, 1 April 2006, mereka menikah di Bandung. Sayang saya tak bisa hadir, karena bertepatan dengan jadual saya naik gunung Merbabu kala itu.

Selamat atas peluncuran buku kamu, Tiara.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.