Rabu lalu saya 'diculik' seorang sahabat untuk menghadiri Deklarasi Hari Keamanan Informasi di Gedung BPPT, Thamrin. Tak sekedar hadir, saya ditodong untuk jadi moderator press conference dan bahkan MC untuk acara pada deklarasinya. Maka setiap tanggal 7 Maret kita akan selalu merayakan hari Keamanan Informasi.
Keamanan informasi sangat perlu baik bagi pribadi maupun organisasi. Sekali kita menyerahkan data pribadi kita kepada pihak lain, data kita bukannya aman disimpan oleh pihak itu. Sahabat saja baru saja menerima kartu kredit dari Bank Niaga. Pada hari yang sama, seorang marketing yang menjual voucher hotel menelpon memastikan bahwa sahabat saya sudah menerima kartu tersebut sekaligus menawarkan program paket hotel.
Menyebalkan memang. Tidak saja Bank Niaga, tapi hampir semua bank memiliki hubungan mutual simbiosis dengan pihak-pihak lain. Mereka barter atau bahkan menjual data nasabah. Saya tidak menuduh pihak bank yang melakukan semua itu karena dalam proses aplikasi kartu kredit ada pihak ketiga yang ditunjuk oleh bank untuk meng-handle pekerjaan tersebut. Misalnya marketing agent dan perusahaan kurir.
Mengingat banyak pengalaman yang membuat tak nyaman, saya sangat berhati-hati memberikan data pribadi. Mending kalau sekedar untuk penawaran-penawaran barang atau jasa, bagaimana jika identitas kita digunakan untuk sebuah tindakan kejahatan? Jangan memberikan data, sekedar menunjukkan saja seringnya saya ogah.
Pulang dari sebuah trip hampir jam 2 pagi. Taksi yang saya tumpangi dicegat segerombolan polisi. Saya trenyuh, jam segitu mereka masih bekerja. Setelah meminta sopir menunjukkan SIM dan STNK, melongok bagasi sekejap (bukan memeriksa), salah seorang polisi meminta KTP saya. Saya punya pendapat, tak semua orang bisa melihat atau bahkan memeriksa KTP seseorang, tidak juga polisi. Kecuali untuk sebuah konfirmasi.
"Untuk apa?"
"Pemeriksaan rutin, tiap malam, pak." Tiap malam? Saya tambah trenyuh. Saya tidak membawa dompet. Saya hanya membawa selembar kartu ATM dan SIM kadaluarsa. Pergi camping kan tak perlu membawa sekomplit biasanya, pikir saya. Saya tidak begitu saja patuh. Bawaan orok, defense jika merasa diperlakukan tidak sepatutnya.
"Saya hanya penumpang. Bapak udah periksa SIM dan STNK taksi. Bapak udah periksa bagasi. Lalu buat apa KTP saya?" Polisi bukan petugas yustisi. Saya tidak mau seseorang merasa punya power atas diri saya saat itu dan memanfaatnya.
"Mau liat aja."
"Emang ada razia apa?"
"Narkoba."
Capek, deh. Periksa narkoba di tengah jalan? Kenapa juga ngga pergi ke diskotik? Saya makin yakin untuk tidak akan mau mengikuti mau polisi itu.
Razia narkoba, kok, tanya KTP? Saya lalu menyodorkan backpack saya yang kotor, apek, dan lembab. "Periksa dulu bawaan saya, jika ada narkobanya baru Anda tanya KTP saya!"
Pada pagelaran JavaJazz 2007 lalu, seorang perempuan muda yang cantik, ramping, dan tinggi, berseragam salah satu sponsor acara tersebut mendekati saya. "Pak, pinjam KTP-nya. Saya ingin mencatat data Bapak sebagai pengunjung JavaJazz." Saya mengernyitkan dahi. Situ ok?
Keamanan informasi sangat perlu baik bagi pribadi maupun organisasi. Sekali kita menyerahkan data pribadi kita kepada pihak lain, data kita bukannya aman disimpan oleh pihak itu. Sahabat saja baru saja menerima kartu kredit dari Bank Niaga. Pada hari yang sama, seorang marketing yang menjual voucher hotel menelpon memastikan bahwa sahabat saya sudah menerima kartu tersebut sekaligus menawarkan program paket hotel.
Menyebalkan memang. Tidak saja Bank Niaga, tapi hampir semua bank memiliki hubungan mutual simbiosis dengan pihak-pihak lain. Mereka barter atau bahkan menjual data nasabah. Saya tidak menuduh pihak bank yang melakukan semua itu karena dalam proses aplikasi kartu kredit ada pihak ketiga yang ditunjuk oleh bank untuk meng-handle pekerjaan tersebut. Misalnya marketing agent dan perusahaan kurir.
Mengingat banyak pengalaman yang membuat tak nyaman, saya sangat berhati-hati memberikan data pribadi. Mending kalau sekedar untuk penawaran-penawaran barang atau jasa, bagaimana jika identitas kita digunakan untuk sebuah tindakan kejahatan? Jangan memberikan data, sekedar menunjukkan saja seringnya saya ogah.
Pulang dari sebuah trip hampir jam 2 pagi. Taksi yang saya tumpangi dicegat segerombolan polisi. Saya trenyuh, jam segitu mereka masih bekerja. Setelah meminta sopir menunjukkan SIM dan STNK, melongok bagasi sekejap (bukan memeriksa), salah seorang polisi meminta KTP saya. Saya punya pendapat, tak semua orang bisa melihat atau bahkan memeriksa KTP seseorang, tidak juga polisi. Kecuali untuk sebuah konfirmasi.
"Untuk apa?"
"Pemeriksaan rutin, tiap malam, pak." Tiap malam? Saya tambah trenyuh. Saya tidak membawa dompet. Saya hanya membawa selembar kartu ATM dan SIM kadaluarsa. Pergi camping kan tak perlu membawa sekomplit biasanya, pikir saya. Saya tidak begitu saja patuh. Bawaan orok, defense jika merasa diperlakukan tidak sepatutnya.
"Saya hanya penumpang. Bapak udah periksa SIM dan STNK taksi. Bapak udah periksa bagasi. Lalu buat apa KTP saya?" Polisi bukan petugas yustisi. Saya tidak mau seseorang merasa punya power atas diri saya saat itu dan memanfaatnya.
"Mau liat aja."
"Emang ada razia apa?"
"Narkoba."
Capek, deh. Periksa narkoba di tengah jalan? Kenapa juga ngga pergi ke diskotik? Saya makin yakin untuk tidak akan mau mengikuti mau polisi itu.
Razia narkoba, kok, tanya KTP? Saya lalu menyodorkan backpack saya yang kotor, apek, dan lembab. "Periksa dulu bawaan saya, jika ada narkobanya baru Anda tanya KTP saya!"
Pada pagelaran JavaJazz 2007 lalu, seorang perempuan muda yang cantik, ramping, dan tinggi, berseragam salah satu sponsor acara tersebut mendekati saya. "Pak, pinjam KTP-nya. Saya ingin mencatat data Bapak sebagai pengunjung JavaJazz." Saya mengernyitkan dahi. Situ ok?
Comments