Skip to main content

Bata Kasut


















Ibu hanya menjatah sepatu untuk saya dan saudara-saudara saya setahun sepasang. Biasanya kami akan dibelikan pas menjelang lebaran. Sepatu baru ini pasti dipakai saat lebaran, untuk berkunjung ke sanak famili. Libur lebaran yang biasanya satu bulan, kembali ke sekolah dengan sepatu kinclong ini. Saya akan sangat senang. Semua teman-teman pun menggunakan sepatu baru. Tapi hanya saya yang biasanya pakai Bata, merek terkenal dari toko terkenal di kota.

Di kota kecil seperti Bogor, banyak toko sepatu bagus di sepanjang Jalan Merdeka atau Surya Kencana. Tapi Ibu selalu mengajak kami ke toko sepatu Bata. Entah yang di jalan Merdeka, maupun di Mayor Oking dekat Pasar Anyar.

Tak semua model sepatu Bata memiliki kekuatan yang sama. Ada yang cepat rusak, ada yang memang kuat. Padahal, satu sepatu untuk banyak fungsi. Sekolah iya, tamasya iya, olah raga iya. Saya mengerti keadaan keluarga, jadinya tak mungkin membangkitkan keinginan untuk memiliki sepatu sebanyak jenis kegiatan saya. Lagian, tak banyak teman-teman yang memiliki sepatu lebih dari satu pasang. Saat itu mungkin saya akan berpikir pasti orang tua teman saya itu sangat kaya sehingga bisa membelikan anaknya sepatu lebih dari sepasang.

Lebaran masih jauh, sepatu saya sudah bolong alasnya. Kaos kaki jadi cepat kotor. Saya sering harus melepas sepatu saat berjalan kaki karena kerikil sekali-seklai masuk juga. Jika hujan, kaos kaki saya pasti basah. Saya sudah bilang ke Ibu. Tapi Ibu malah memberikan saya ide untuk melapisi alas bagian dalam sepatu dengan potongan karet dan membungkus kaki saya dengan plastik sebelum dimasukkan ke sepatu.

Sekarang ketika saya begitu percaya bahwa alas kaki adalah cerminan dari kepribadian seseorang, saya punya sejuta alasan untuk membeli sepatu untuk sejuta kegiatan. Inginnya.

[Foto diambil di Jalan Surya Kencana, Bogor. Tanggalan cap goh meh, 4 Maret 2007]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.