Skip to main content

Everything Has A Reason

Everything has a limit. Everything has a reason. Dan pelajaran tentang hidup baru saja saya petik.

Saya selalu merasa pasti jika saya begadang, esokan harinya pasti sakit: anak mama. Padahal saya manusia pagi, selarut apapun tidur akan selalu terbangun ketika matahari mulai terbit. Malam itu saya punya 'pekerjaan rumah' yang baru selesai menjelang dini hari. Siangnya saya perlu mengunjungi tiga buah kota untuk survey sebuah produksi. Tak sempat sarapan, padahal sarapan wajib hukumnya dalam kamus saya. Matahari menyengat dengan teriknya. Ketika saya kembali ke kantor sore harinya, badan sudah mulai meriang. Yeah, saya kena demam.

Padahal saya punya sejumlah janji dengan banyak sahabat, dari mulai menghadiri pembukaan pameran foto, farewell party, selamatan bayi, bertemu sepupu, undangan ulang tahun, ini itu. Weekend lalu itu jadual saya memang padat. Seperti biasa. Namun sayang sekali tak satupun kegiatan bisa saya lakukan. Saya hanya bisa selimutan mencari kehangatan, terbaring hingga punggung rasanya pegal sekali, mulut sebau nafas naga, tampang sudah semirip Tukul Arwana.

Saya mencoba berfilosofi. Betapa baiknya alam semesta menyuruh saya beristirahat. Jika saya sehat dan saya pergi ke pembukaan pameran foto dan farewell party, mungkin sesuatu yang buruk akan menimpa saya. Maka saya dibiarkannya pulang cepat. Everything has a reason.

Salah seorang tetangga yang paling tahu jadual pergi dan pulang saya, berseloroh ketika dia tahu saya sakit. "Baru kerasa kan? Makanya inget waktu kalau kerja." Saya tertawa dalam hati. Ah, pulang pagi karena main masih disebut bekerja.

Banyak waktu sendiri. Tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali nonton DVD, tidur, browsing...

Ketika sedang terbaring begini, saya teringat sehat saya. Saya ingin kembali sehat. Saya tak mau berlama-lama dirudung demam. Semoga memang hanya demam. Saya berjanji, akan selalu memperhatikan kesehatan. Kalau boleh saya berpesan buat semua sahabat: ingatlah sehatmu sebelum sakitmu...



Comments

chumly said…
Your posts are good reasons to visit.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.