Skip to main content

The Good Shepherd



Bagaimana menurut Anda, tentang gembala teladan. Apakah ia yang selalu menuruti perintah majikannya atau gembala yang menuruti kehendak hewan gembalaannya?

Saya pikir, Robert De Niro, sang sutradara lebih menginginkan penonton film ini sepakat bahwa gembala yang baik adalah yang tak banyak bertanya mengapa majikan memberikannya pekerjaan ini itu dan mengapa hewan gembalaannya menghendaki ini itu. Jalani saja, karena percayalah, selalu akan ada jalan jika kita sungguh-sungguh menjalaninya. Dan fokus.

Prinsip hidup mengalir rupanya bisa juga diterapkan pada kehidupan seorang agen rahasia. Yeah, The Good Shepherd bukan film tentang para penggembala ternak. Ini film bergenre drama psikologis seorang agen yang betul-betul bisa memisahkan kehidupan pribadi dengan loyalitas pada negara. Gregetan. Naif.

Lebih dari dua jam, saya harus konsentrasi penuh karena cerita dibuat maju mundur. Kadang mundur sekian tahun, kadang maju sekian tahun, terus maju lagi, terus mundur lagi. Seperti serpihan puzzle yang harus disatukan untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang sosok agen rahasia yang nyaris tanpa ambisi namun berkarir gemilang, diandalkan negara juga disegani lawan-lawan dari agen rahasia negara lain.

Layak tonton.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.