Skip to main content

Ketika Menikmati Lagu/Film Bajakan menjadi Sebuah Gaya Hidup

Image Hosted by ImageShack.us

Ketika ada beberapa band indi baru datang untuk berkonsultasi, saya anjurkan agar mereka mempermudah akses para pembajak untuk membajak lagu-lagu mereka. Mengapa? Supaya cepat populer. Lupakan biaya produksi yang tinggi. Anggap saja itu investasi. Yang penting, sesegera mungkin lagu-lagu mereka populer. Dari popularitas lagu, akan mudah bagi band-band itu meraih keuntungan. Misalnya undangan manggung dari sana-sini.

Lagu yang sudah dibajak, akan murah dan mudah didapat oleh berbagai kalangan. Ingat, konsumen CD atau MP3 bajakan tak melulu kalangan bawah, tapi juga kalangan menengah atas bahkan kaum intelek dan moralis sekalipun.

Pembajakan lagu atau film memang banyak memberikan keuntungan bagi masyarakat. Terutama film, karena saya sungguh pecandu film. Bayangkan, jika seminggu saya bisa menonton tiga sampai empat buah film, berapa uang yang harus saya keluarkan jika mesti masuk bioskop? Dengan hanya membeli DVD bajakan, saya cukup mengeluarkan Rp 6000 per keping. Murah.

Film bajakan memungkinkan saya menonton film-film asing atau film Hollywood yang tak mungkin beredar di Indonesia karena berbagai alasan. Misalnya karena mengandung banyak muatan pornografi dan atau mengandung kisah perjuangan bangsa Yahudi.

Keuntungan lain: saya bisa menonton film tanpa sensor, film-film sangat baru dengan kualitas gambar yang seringnya memang bagus (asal tak memaksakan diri saja jika penjual film mengatakan kualitasnya masih belum baik), dan bisa menonton di rumah dengan pilihan waktu yang sangat bebas, bisa berkali-kali ditonton, dan bisa ditunda sesering mungkin jika waktu saya terbatas. Menikmati film bajakan telah menjadi bagian dari gaya hidup saya. Menjadi sebuah keharusan setiap kurun waktu tertentu saya mengunjungi kawasan Menteng atau ITC Kuningan.

Saya ragu pemberantasan pembajakan lagu maupun film bisa berhasil. Tak mungkin. Saya melihat begitu banyak pihak yang berkepentingan dalam bisnis ini. Dari pihak kepolisian sendiri yang mestinya pihak yang paling getol menegakkan hukum malah ikut melindungi. Itu kenapa mereka meminta upeti secara berkala kepada para pedagang barang bajakan.

Pihak pemilik gedung sendiri berkepentingan agar ruang-ruangnya tersewa dan supaya pengunjung banyak yang datang. Bayangkan: Ratu Plaza, Glodok, ITC Kuningan, Mal Ambasador, akan sepi seperti kuburan Jeruk Purut tanpa bisnis pembajak ini.

Saya senang-senang saja menikmati film bajakan. Namun jikapun akhirnya ternyata bajak-membajak film benar-benar hilang dari bumi Indonesia, sayapun tak keberatan. Bahkan mungkin akan sangat memuji. Hanya saja, saya memang sangat meragukan kesungguhan semua pihak yang mengkampanyekan perang melawan pembajak.

Sangatlah mudah sebetulnya mengetahui siapa para pembajak itu sebenarnya. Di Indonesia, bisa dihitung dengan jari para pengusaha yang bermain duplikasi CD atau DVD. Mereka semua terdaftar. Idealnya mereka hanya memperbanyak lagu atau film melalui jalur legal. Tapi tentu saja akan sangat sengit persaingan mereka mengingat tak banyak pihak yang ingin memproduksi lagu.

Atas nama untuk bertahan hidup dan juga keserakahan, mereka lalu membeli film-film dari luar negeri untuk kemudian mereka perbanyak. Memperbanyak ribuan CD atau DVD hanya dalam hitungan hari. Atau cukup memasang handycam di bioskop tertentu jika ternyata film baru dengan versi DVD-nya di-release terpisah.

Semua serba transparan sebenarnya. Heran saja jika ada pihak yang bilang betapa susahnya memberantas pembajakan. Razia-razia yang selama ini digelar, hanya operasi sandiwara saja. Setelah CD atau DVD digaruk, para polisi kemudian bernegosiasi dengan pedagang. ujung-ujungnya polisi memeras para pedagang. Menyedihkan.

Ada satu cara lain untuk memutus rantai perdagangan barang bajakan. Dengan memberi hukuman kepada pemilik gedung atau pimpinan kelurahan/kecamatan jika ternyata di gedungnya atau di wilayahnya terdapat perdagangan barang bajakan. Untuk itu, pihak DPRD perlu membuat sebuah peraturan yang mengatur hal demikian.

Memberantas pembajakan lagu atau film itu susah, namun bisa juga sangat mudah. Nah, sambil menunggu ada inisiatif dari para legislator, saya masih akan terus menambah koleksi film-film asing.

Maraknya film bajakan juga sebetulnya menguntungkan pengusaha elektronik. Bayangkan jika tidak ada DVD bajakan, mana laku DVD player dijual? Ingat bagaimana para produsen eletronik menjual Laser Disc player beberapa tahun lalu? Seret. Tentu saja, untuk bisa memutar film, konsumen harus sewa. Belum tentu tempat penyewaannya dekat dengan rumah. Laser Disc waktu itu belum bisa dibajak karena teknologinya terlalu rumit. Satu hal yang saya lihat bahwa produsen DVD player sangat diuntungkan dengan ramainya bisnis pembajakan film.

[Foto diambil di kawasan perdagangan VCD/DVD bajakan Menteng]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.