Skip to main content

Menjadi Pelayan untuk Orang Lain

Sebagian dari kita tidak tahu bagaimana melayani. Kita bekerja untuk sebuah perusahaan. Perusahaan mendapatkan penghasilan dari client, cunsumer, custumer, apalah istilahnya. Dengan uang yang dihasilkan dari client atau custmer atau consumer kita digaji. Lalau apa keberatannya jika kita melayani client atau consumer atau custumer dari perusahaan dimana kita bekerja? Meskipun 'melayani' bukanlah tugas utama kita.

Handphone saya rusak, sangat rusak. Kalau pun diperbaiki, ternyata tak cepat. Saya merasa perlu membeli satu yang baru. Ingin mudah, cepat, dan dekat dari kantor, saya mengunjungi Nokia Professional di SCBD. Saya selalu menggunakan Nokia. Karena tak ingin direpotkan dengan mempelajari aneka tombol dan fungsi dari handphone yang bukan merek Nokia, saya tetap ingin memilih merek itu.

Tiba di outlet Nokia Professional yang luas dan sejuk, saya keliling melihat-lihat etalase. Segerombol karyawan dan karyawati toko itu numplek di meja kasir. Mereka terlihat lesu darah dan tak bervitamin. "Saya mau lihat yang model ini!" teriak saya dari jarak sekitar enam meter. Semua karyawan menoleh ke arah saya.

"Boleh saya lihat?"
"Silakan, Pak. Lihat-lihat aja dulu," teriak seorang SPG cantik dengan suara melengking empat oktav. Maksud gue, gue pengen liat model ini, loe datang kemari, membuka etalase dan membiarkan gue menggenggam atau sekedar menyentuh barang yang gue tunjuk... Gerutu saya dalam hati. Tak ada pengunjung lain selain saya.

"Ada warna yang lain?"
"Yang seri mana?" si cantik itu tetap dengan lengkingannya, tetap ajeg di enam meter jaraknya. Astaga, andai saya tahu. My name is not Jesus Crist! Tak ada keterangan di etalase yang menunjukkan handphone itu seri apa. Kasihan Nokia. Sudah mengeluarkan uang banyak untuk training karyawan tapi tak berhasil.

Segera saya ke toko sebelah. Ruangannya lebih kecil, SPG-nya yang hitam manis selalu tersenyum manis dari awal saya masuk hingga dia menyerahkan kembali kartu kredit saya, walaupun lebih dari sepuluh jenis handphone saya tanyai, walaupun diinterupsi berbagai pertanyaan dari pengunjung lain yang ramai berkunjung.

Di sebuah mall di Jalan Surya Kencana, Bogor, saya perlu sekali menarik uang. Ramai pengunjung, banyak pedagang, tapi saya memilih seseorang yang sedang mengepel lantai, yang saya duga akan lebih tahu karena ia tentunya banyak berkeliling ke segala penjuru mall, mungkin lebih hapal ada apa di mall tersebut.

"Mas, mau tanya. Apa di gedung ini ada mesin ATM BCA?" Dengan terus melakukakan aktivitasnya dan tanpa menoleh, lelaki itu menyahut, "tak tahu." Ah, dia terlalu rajin dia. Kasihan saya.

Melayani juga tak melulu berhubungan antara karyawan-perusahaan-konsumen. Jika Anda adalah bagian dari sebuah organisasi, maka diri Anda bisa menjadi duta atau bahkan Public Relation bagi organisasi Anda. Setiap saat Anda bisa membawa amanat dari organisasi yang menaungi Anda.

Baru saja saya bercerita ke beberapa sahabat tentang pengalaman tak disambut baik oleh sebuah organisai. Saya pernah mendaftar di sebuah milis pencinta alam. Saat itu para anggota sedang ramai memperbincangkan rencana trip ke Karimun Jawa. Belum ada rombongan manapun yang pernah melakukan trip itu, makanya saya tertarik. Saya menulis pesan pendek: Hi, salam kenal. Saya anggota baru di milis ini. Tertarik ikut ke Karimun Jawa. Boleh tahu itinerary dan informasi lebih lanjut?

Seorang yang saya asumsikan perempuan (dari namanya), yang saya tahu adalah bagian dari panitia trip itu menjawab lebih singkat. "Liat di arsip saja." Tak perlu menunggu lama, saya segera un-subscribe.

Saya membayangkan, jika saya benar-benar bergabung dengan trip yang mereka adakan, ketika di tengah laut saya mabok lalu bertanya dimana saya bisa mendapatkan Antimo, mungkin panitia itu akan bilang: tanya saja sama penjaga pantai!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.