Ada tokoh-tokoh dalam kehidupan kita sekarang secara emosi, begitu kuat mempengaruhi hidup kita. Tokoh itu bisa bisa bisa muncul begitu saja, namun bisa juga ia telah hadir dalam hidup kita sejak kita kecil. Hadir dan tak pergi, entah sampai kapan. Mungkin sesekali kita menghindar, namun jalan hidup selalu mempertemukan dengannya. Berhentilah berlari. Siapa tahu orang itu atau bahkan justeru kita sendiri, di kehidupan lalu kita, memiliki karma yang belum selesai dengannya. Selesaikanlah.
Pertama kali bertemu, saya lalu jatuh cinta. Cinta pandangan pertama rupanya. Awalnya mungkin dia tak menanggapi cinta saya. Tapi dia membiarkan saya masuk dalam hidupnya dan pelan-pelan saya merasakan dia dapat membalas cinta saya. Lalu kami saling jatuh cinta. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Kami saling mencintai, kami saling menyakiti.
Dia sering tak jujur. Dia sering melarang padahal dia melakukan. Dia sering menuduh saya curang padahal tidak. Dia menuduh saya kurang perhatian, mungkin.Begitu terus-menerus. Saat saya bosan dan marah, saya tinggalkan dia. Dia akan mengejar. Lalu saya berutut lagi. Dia gantian yang jual mahal, hingga saya memohon. Begitu terus. Kadang sebaliknya, dia yang bosan dan meninggalkan. Saya yang akan mengejar. Sahabat-sahabat saya di saat itu bingung dan turut bosan dengan cerita cinta kami yang 'awet rajet'.
Suatu ketika saya memutuskan untuk tidak menghubungi dia sama sekali. Sewaktu-waktu masih saya lakukan. Ketika saya menghubungi dia, dia marah. Karena menurutnya saya hanya mempermainkan perasaan dia. Bukan, bukan maksud saya begitu. Saya hanya ingin bersahabat, saling berbagai, saling memberi dukungan, saling menunjukkan kasih. Kita masing-masing sudah tua. Sudah layaknya merubah pemikiran tentang sebuah hubungan.
Belakangan, dengan sebuah kedewasaan yang lebih meningkat, kami bertemu lagi dengan intens. Berkawan lagi. Dia dengan sifat-sifatnya dulu. Sok tua, sok menggurui, mudah menghakimi, temperamental, tak sabaran. Kadang penuh kasih, penuh perhatian, tak perhitungan.
Ketika saya terbaring lama di rumah sakit, adakah waktu ia meluangkan waktu untuk sekedar menjenguk? Bahkan ketika di awal sakit saya minta ia temani periksa ke dokter, dia memilih berkaraoke dengan teman-temannya. Itulah dia. Alasannya tak tahu jalan. Sifatnya yang tak mau berkorban, egois, sungguh amat menggoda perasaan untuk protes. Ah, saya tak ingin mengotori hati. Saya perlu memakluminya.
Saya ingin menuntaskan karma saya, hingga tak lagi menyesak dalam hati. Tak melekat hingga menjadi sebuah beban. Untuk itulah saya perlu merubah pola pikir saya. Bukanlah tugas saya merubah karakter dia. Saya yang perlu menyeimbangkan. Saya perlu mengalah tanpa perlu menderita. Agar segala tindakan, perkataan, dan pandangannya tak membuat saya tertekan, tesinggung, tak nyaman. Saya ingin ikhlas, agar semua tidak menjadi karma.
Saya juga teringat akan seorang mantan atasan. Kehadirannya dalam kehidupan saya begitu berjejak dalam. Hubungan kami naik turun, sebagai atasan dan sahabat, campur aduk dengan sangat aneh dan ganjil. Kadang mengagumkan kadang menyebalkan. Kadang seperti guru dan murid, kadang seperti kakak dan adik, kadang seperti anjing dan kucing. Hubungan kami juga menjadi tolak ukur suasana kantor.
Sesuatu berubah. Dia merantau ke negeri asing. Di awal kepergiannya hubungan kami masih terjaga. Namun sesuatu yang ia tinggalkan membuat saya marah. Maka rindu dendam, amarah dan kasih kembali bergulat dalam hubungan yang sulit diketahui bentuknya lagi. Saya biarkan jarak benar-benar memisahkan. Saya menghindar dari dia. Saya ingin belajar menjauh dari dia, dari pengaruhnya, dari cengkeraman, dari kasih sayangnya. Pelan-pelan perasaan lain tumbuh. Sebuah respek akan persahabatan. Kedewasaan yang pulih. Maka insya Allah, semua akan kekal dalam takaran yang seimbang. Dengannya, karma masa lalu saya sudah selesai saya rasa.
Indahnya hidup tanpa reinkarnasi. Namun jikapun itu perlu terjadi, biar karma-karma baik saja yang kelak menghampiri saya. Saya sekarang saya sedang sibuk menganalisis hubungan dengan para kerabat, sahabat, dan alam.
Saya merasa selalu bermasalah dengan angin. Saya sering masuk angin hingga mengganggu pencernaan. Saya ingin berdamai dengan angin maka saya lalu banyak menulis puisi tentang angin. Saya kumpulkan dalam blog khusus: ANATOMI ANGIN.
Pertama kali bertemu, saya lalu jatuh cinta. Cinta pandangan pertama rupanya. Awalnya mungkin dia tak menanggapi cinta saya. Tapi dia membiarkan saya masuk dalam hidupnya dan pelan-pelan saya merasakan dia dapat membalas cinta saya. Lalu kami saling jatuh cinta. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Kami saling mencintai, kami saling menyakiti.
Dia sering tak jujur. Dia sering melarang padahal dia melakukan. Dia sering menuduh saya curang padahal tidak. Dia menuduh saya kurang perhatian, mungkin.Begitu terus-menerus. Saat saya bosan dan marah, saya tinggalkan dia. Dia akan mengejar. Lalu saya berutut lagi. Dia gantian yang jual mahal, hingga saya memohon. Begitu terus. Kadang sebaliknya, dia yang bosan dan meninggalkan. Saya yang akan mengejar. Sahabat-sahabat saya di saat itu bingung dan turut bosan dengan cerita cinta kami yang 'awet rajet'.
Suatu ketika saya memutuskan untuk tidak menghubungi dia sama sekali. Sewaktu-waktu masih saya lakukan. Ketika saya menghubungi dia, dia marah. Karena menurutnya saya hanya mempermainkan perasaan dia. Bukan, bukan maksud saya begitu. Saya hanya ingin bersahabat, saling berbagai, saling memberi dukungan, saling menunjukkan kasih. Kita masing-masing sudah tua. Sudah layaknya merubah pemikiran tentang sebuah hubungan.
Belakangan, dengan sebuah kedewasaan yang lebih meningkat, kami bertemu lagi dengan intens. Berkawan lagi. Dia dengan sifat-sifatnya dulu. Sok tua, sok menggurui, mudah menghakimi, temperamental, tak sabaran. Kadang penuh kasih, penuh perhatian, tak perhitungan.
Ketika saya terbaring lama di rumah sakit, adakah waktu ia meluangkan waktu untuk sekedar menjenguk? Bahkan ketika di awal sakit saya minta ia temani periksa ke dokter, dia memilih berkaraoke dengan teman-temannya. Itulah dia. Alasannya tak tahu jalan. Sifatnya yang tak mau berkorban, egois, sungguh amat menggoda perasaan untuk protes. Ah, saya tak ingin mengotori hati. Saya perlu memakluminya.
Saya ingin menuntaskan karma saya, hingga tak lagi menyesak dalam hati. Tak melekat hingga menjadi sebuah beban. Untuk itulah saya perlu merubah pola pikir saya. Bukanlah tugas saya merubah karakter dia. Saya yang perlu menyeimbangkan. Saya perlu mengalah tanpa perlu menderita. Agar segala tindakan, perkataan, dan pandangannya tak membuat saya tertekan, tesinggung, tak nyaman. Saya ingin ikhlas, agar semua tidak menjadi karma.
Saya juga teringat akan seorang mantan atasan. Kehadirannya dalam kehidupan saya begitu berjejak dalam. Hubungan kami naik turun, sebagai atasan dan sahabat, campur aduk dengan sangat aneh dan ganjil. Kadang mengagumkan kadang menyebalkan. Kadang seperti guru dan murid, kadang seperti kakak dan adik, kadang seperti anjing dan kucing. Hubungan kami juga menjadi tolak ukur suasana kantor.
Sesuatu berubah. Dia merantau ke negeri asing. Di awal kepergiannya hubungan kami masih terjaga. Namun sesuatu yang ia tinggalkan membuat saya marah. Maka rindu dendam, amarah dan kasih kembali bergulat dalam hubungan yang sulit diketahui bentuknya lagi. Saya biarkan jarak benar-benar memisahkan. Saya menghindar dari dia. Saya ingin belajar menjauh dari dia, dari pengaruhnya, dari cengkeraman, dari kasih sayangnya. Pelan-pelan perasaan lain tumbuh. Sebuah respek akan persahabatan. Kedewasaan yang pulih. Maka insya Allah, semua akan kekal dalam takaran yang seimbang. Dengannya, karma masa lalu saya sudah selesai saya rasa.
Indahnya hidup tanpa reinkarnasi. Namun jikapun itu perlu terjadi, biar karma-karma baik saja yang kelak menghampiri saya. Saya sekarang saya sedang sibuk menganalisis hubungan dengan para kerabat, sahabat, dan alam.
Saya merasa selalu bermasalah dengan angin. Saya sering masuk angin hingga mengganggu pencernaan. Saya ingin berdamai dengan angin maka saya lalu banyak menulis puisi tentang angin. Saya kumpulkan dalam blog khusus: ANATOMI ANGIN.
Comments