Skip to main content

Kenali, Analisa, dan Kendalikan Karmamu

Ada tokoh-tokoh dalam kehidupan kita sekarang secara emosi, begitu kuat mempengaruhi hidup kita. Tokoh itu bisa bisa bisa muncul begitu saja, namun bisa juga ia telah hadir dalam hidup kita sejak kita kecil. Hadir dan tak pergi, entah sampai kapan. Mungkin sesekali kita menghindar, namun jalan hidup selalu mempertemukan dengannya. Berhentilah berlari. Siapa tahu orang itu atau bahkan justeru kita sendiri, di kehidupan lalu kita, memiliki karma yang belum selesai dengannya. Selesaikanlah.

Pertama kali bertemu, saya lalu jatuh cinta. Cinta pandangan pertama rupanya. Awalnya mungkin dia tak menanggapi cinta saya. Tapi dia membiarkan saya masuk dalam hidupnya dan pelan-pelan saya merasakan dia dapat membalas cinta saya. Lalu kami saling jatuh cinta. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Kami saling mencintai, kami saling menyakiti.

Dia sering tak jujur. Dia sering melarang padahal dia melakukan. Dia sering menuduh saya curang padahal tidak. Dia menuduh saya kurang perhatian, mungkin.Begitu terus-menerus. Saat saya bosan dan marah, saya tinggalkan dia. Dia akan mengejar. Lalu saya berutut lagi. Dia gantian yang jual mahal, hingga saya memohon. Begitu terus. Kadang sebaliknya, dia yang bosan dan meninggalkan. Saya yang akan mengejar. Sahabat-sahabat saya di saat itu bingung dan turut bosan dengan cerita cinta kami yang 'awet rajet'.

Suatu ketika saya memutuskan untuk tidak menghubungi dia sama sekali. Sewaktu-waktu masih saya lakukan. Ketika saya menghubungi dia, dia marah. Karena menurutnya saya hanya mempermainkan perasaan dia. Bukan, bukan maksud saya begitu. Saya hanya ingin bersahabat, saling berbagai, saling memberi dukungan, saling menunjukkan kasih. Kita masing-masing sudah tua. Sudah layaknya merubah pemikiran tentang sebuah hubungan.

Belakangan, dengan sebuah kedewasaan yang lebih meningkat, kami bertemu lagi dengan intens. Berkawan lagi. Dia dengan sifat-sifatnya dulu. Sok tua, sok menggurui, mudah menghakimi, temperamental, tak sabaran. Kadang penuh kasih, penuh perhatian, tak perhitungan.

Ketika saya terbaring lama di rumah sakit, adakah waktu ia meluangkan waktu untuk sekedar menjenguk? Bahkan ketika di awal sakit saya minta ia temani periksa ke dokter, dia memilih berkaraoke dengan teman-temannya. Itulah dia. Alasannya tak tahu jalan. Sifatnya yang tak mau berkorban, egois, sungguh amat menggoda perasaan untuk protes. Ah, saya tak ingin mengotori hati. Saya perlu memakluminya.

Saya ingin menuntaskan karma saya, hingga tak lagi menyesak dalam hati. Tak melekat hingga menjadi sebuah beban. Untuk itulah saya perlu merubah pola pikir saya. Bukanlah tugas saya merubah karakter dia. Saya yang perlu menyeimbangkan. Saya perlu mengalah tanpa perlu menderita. Agar segala tindakan, perkataan, dan pandangannya tak membuat saya tertekan, tesinggung, tak nyaman. Saya ingin ikhlas, agar semua tidak menjadi karma.

Saya juga teringat akan seorang mantan atasan. Kehadirannya dalam kehidupan saya begitu berjejak dalam. Hubungan kami naik turun, sebagai atasan dan sahabat, campur aduk dengan sangat aneh dan ganjil. Kadang mengagumkan kadang menyebalkan. Kadang seperti guru dan murid, kadang seperti kakak dan adik, kadang seperti anjing dan kucing. Hubungan kami juga menjadi tolak ukur suasana kantor.

Sesuatu berubah. Dia merantau ke negeri asing. Di awal kepergiannya hubungan kami masih terjaga. Namun sesuatu yang ia tinggalkan membuat saya marah. Maka rindu dendam, amarah dan kasih kembali bergulat dalam hubungan yang sulit diketahui bentuknya lagi. Saya biarkan jarak benar-benar memisahkan. Saya menghindar dari dia. Saya ingin belajar menjauh dari dia, dari pengaruhnya, dari cengkeraman, dari kasih sayangnya. Pelan-pelan perasaan lain tumbuh. Sebuah respek akan persahabatan. Kedewasaan yang pulih. Maka insya Allah, semua akan kekal dalam takaran yang seimbang. Dengannya, karma masa lalu saya sudah selesai saya rasa.

Indahnya hidup tanpa reinkarnasi. Namun jikapun itu perlu terjadi, biar karma-karma baik saja yang kelak menghampiri saya. Saya sekarang saya sedang sibuk menganalisis hubungan dengan para kerabat, sahabat, dan alam.

Saya merasa selalu bermasalah dengan angin. Saya sering masuk angin hingga mengganggu pencernaan. Saya ingin berdamai dengan angin maka saya lalu banyak menulis puisi tentang angin. Saya kumpulkan dalam blog khusus: ANATOMI ANGIN.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.