Skip to main content

Pirate of the Langsat Cafe



Sudah lama saya tak ikut kompetisi dan menang. Sebuah akhir pekan, saya memang sudah berniat datang ke pesta ulang tahun seorang sahabat. Awalnya saya tak ingin terlalu patuh pada dresscode yang ditentukan. Alah, biasanya juga cuma segelintir yang mau, pikir saya.

Sepanjang hari itu saya berada di luar rumah dan tak sempat mempersiapkan kostum khusus untuk pesta di malam harinya. Ketika sejumlah sahabat menjemput, saya jadi aneh sendiri. Pakaian pantai yang menjadi dresscode sudah mereka kenakan. Saya jadi gelisah memikirkan bagaimana penampilan saya yang sangat beda dengan tamu lainnya. Bukannya dengan mematuhi aturan dresscode berarti juga saya menghormati pihak pengundang? Begitu sahabat saya mengingatkan.

Maka dengan semangat perang salib, rombongan mampir di sebuah toko pakaian. Setelah ubek sana sini, rupanya kostum yang saya cari tak ada. Saya pelintir otak kreatif saya untuk mendapatkan solusi. Saat itu saya menggunakan celana panjang hitam dan kaos hitam. Aha! Saya mendapatkan sebuah selendang hitam yang bisa saya ikat di kepala. Tinggal pinjam satu buah anting besar yang saat itu dipakai salah seorang sahabat saya, pinsil alis, maskara, dan tekad yang bulat. Karena ternyata setelah didandani, saya jadi tak pecaya diri. Maksud hari berdandan a la Johny Depp di Pirates of the Caribbean. Walhasil, penampilan saya lebih mirip capster di Johny Andrean Salon. Untung saya jadi awardee.

Masa muda saya [sekarang udah uzur] diisi dengan berbagai kompetisi. Saya senang melakukannya dan memang saya bisa. Piala kemenangan di rumah saya berderet. Mulai dari lomba melukis, baca puisi, menulis, berpidato, hingga membuat karikatur.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.