Skip to main content

Rental Bayi


Teman dari temannya sahabat saya punya kisah. Anak balitanya ia titipkan pada seorang pembantu di rumah sementara ia dan suaminya bekerja. Setiap kali pulang malang, ia mendapati anaknya tidur pulas. Ah, anaknya mungkin lelah bermain.

Suatu ketika ia curiga melihat perkembangan bayinya yang semakin hari semakin kurus. Kuatir akan keadaan anak semata wayangnya itu, si bayi dibawa ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa bayi itu over dosis obat tidur.

Selidik punya selidik, ternyata pembantu yang biasanya menjagai bayi itu, hampir setiap hari 'meminjamkan' bayinya kepada pacarnya. Pacarnya ini menyewakan bayi malang itu kepada para pengemis.

Sebelum cerita ini saya dengar, saya sudah sering mendengar sindikat pengemis yang sewa menyewa bayi untuk jadi tameng sendu agar orang kasihan dan berharap memberikan sejumlah uang.

Selama ini kegiatan sewa menyewa bayi belum dianggap kriminal. Karenanya pihak kepolisi an tidak punya kasus untuk menindak para pelaku. Jika demikian, mestinya kita sebagai masyarakat membuat sebuah gerakan untuk stop menyantuni para pengemis. Terlepas kita ingin beramal atau karena kita punya uang receh. Memberi nafkah para pengemis berdampak mandulnya sistem sosial kita.

Betul, beramal adalah urusan pribadi setiap orang. Namun jika kita bisa berpikir luas bahwa kita justeru kita menjadi lebih memelaratkan mereka. Tak sekedar raga, tapi juga jiwanya. Pengemis adalah urusan negara. Mestinya, negara bertanggung jawab. Namun, mana kita percaya negara bisa mengurusi hal remeh temeh demikian?

Sejumlah besar pengemis adalah anak-anak. Mereka meminta belas kasihan dengan menyebut-nyebut uang yang mereka mintakan untuk makan dan sekolah. Menurut sebuah penelitian, justeru anak-anak itu membelanjakan uang hasil mengemis atau mengamen itu untuk jajan, main game/dingdong, dan setor kepada orang tuanya. Orang tua menekan anak-anak untuk berpenghasilan lebih besar setiap harinya sementara mereka tidak berbuat apa-apa untuk anak mereka. UNICEF telah menggulirkan kampanye stop memberi uang kepada anak-anak jalanan.

Apakah kita akan menjerumuskan mereka lebih dalam ke jurang kemelaratan dengan memberi mereka uang?


[Foto diambil di jalan Ir. H. Juanda, Bogor: 4 Maret 2007]Teman dari temannya sahabat saya punya kisah. Anak balitanya ia titipkan pada seorang pembantu di rumah sementara ia dan suaminya bekerja. Setiap kali pulang malang, ia mendapati anaknya tidur pulas. Ah, anaknya mungkin lelah bermain.

Suatu ketika ia curiga melihat perkembangan bayinya yang semakin hari semakin kurus. Kuatir akan keadaan anak semata wayangnya itu, si bayi dibawa ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa bayi itu over dosis obat tidur.

Selidik punya selidik, ternyata pembantu yang biasanya menjagai bayi itu, hampir setiap hari 'meminjamkan' bayinya kepada pacarnya. Pacarnya ini menyewakan bayi malang itu kepada para pengemis.

Sebelum cerita ini saya dengar, saya sudah sering mendengar sindikat pengemis yang sewa menyewa bayi untuk jadi tameng sendu agar orang kasihan dan berharap memberikan sejumlah uang.

Selama ini kegiatan sewa menyewa bayi belum dianggap kriminal. Karenanya pihak kepolisi an tidak punya kasus untuk menindak para pelaku. Jika demikian, mestinya kita sebagai masyarakat membuat sebuah gerakan untuk stop menyantuni para pengemis. Terlepas kita ingin beramal atau karena kita punya uang receh. Memberi nafkah para pengemis berdampak mandulnya sistem sosial kita.

Betul, beramal adalah urusan pribadi setiap orang. Namun jika kita bisa berpikir luas bahwa kita justeru kita menjadi lebih memelaratkan mereka. Tak sekedar raga, tapi juga jiwanya. Pengemis adalah urusan negara. Mestinya, negara bertanggung jawab. Namun, mana kita percaya negara bisa mengurusi hal remeh temeh demikian?

Sejumlah besar pengemis adalah anak-anak. Mereka meminta belas kasihan dengan menyebut-nyebut uang yang mereka mintakan untuk makan dan sekolah. Menurut sebuah penelitian, justeru anak-anak itu membelanjakan uang hasil mengemis atau mengamen itu untuk jajan, main game/dingdong, dan setor kepada orang tuanya. Orang tua menekan anak-anak untuk berpenghasilan lebih besar setiap harinya sementara mereka tidak berbuat apa-apa untuk anak mereka. UNICEF telah menggulirkan kampanye stop memberi uang kepada anak-anak jalanan.

Apakah kita akan menjerumuskan mereka lebih dalam ke jurang kemelaratan dengan memberi mereka uang?


[Foto diambil di jalan Ir. H. Juanda, Bogor: 4 Maret 2007]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.