Skip to main content

Starbucks Society

Di luar jam bekerja, saya memanfaatkan waktu luang untuk bekerja paruh waktu menjadi konsultan komunikasi. Karena saya tak membiasakan bekerja di rumah, saya selalu mencari tempat lain untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya: Starbucks. Maka sepanjang Sabtu saya biasanya berkantor di coffee shop itu, dimana pun berada tergantung mood. Meskipun kedai kopi menjadi tempat favorit saya, bukan berarti saya penggemar kopi. Tak perduli kata orang tentang kelezatan latte, capuccino, tubruk, atau coffee mix.

Kopi bukanlah minumlah haram. Tapi saya memang memilih untuk tidak mengkonsumsinya. Saya tak punya alasan tepat mengapa saya menghindari. Karena cofeinnyakah? Tidak juga. Karena warnanya gelapkah? Ngga masuk akal. Saya lebih suka minum es coklat.

Dulu, Bapak menanam kopi di kebon. Saya sangat penasaran untuk segera panen kopi. Suatu pagi, saya sangat terkejut dengan wangi yang sangat harum dan sengit. Rupanya kopi-kopi mulai berbunga. Putih dan sangat harum. Sekilas mirip wangi bunga sedap malam. Warnanya putih bersih. Bunga layu, muncullah buah-buah kopi.

Waktunya panen, Bapak, Ibu, dan saya siap dengan keranjang bambu untuk memetik buah-buah kopi yang sudah tua kecoklatan. Saat itu saya berimajinasi bahwa keluarga kami adalah keluarga Ingals dari serial Little House on the Praire. Saya riang gembira memetik kopi dari pohon ke pohon. Karena pohon-pohonnya tinggi, saya hanya kebagian memetik bagian bawah. Bagian atas dari pohon itu, Bapak yang melakukannya. Setelah tekumpul banyak, biji kopi di jemur berhari-hari hingga kering. Setelah kering, kopi di sangrai di atas penggorengan panas.

Sayang, waktu itu kami tak memiliki mesin penggiling kopi. Ibu mendapat pinjaman alu dan tempatnya dari nenek. Saya turut membantu menumbuk biji kopi hingga buah kopi kering menjadi sangat bubuk. Wanginya sangat harum. Ibu memanaskan air, menyeduh kopi. Hmm, kopi dari kebun kami sendiri sedap sekali.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.