Skip to main content

Ada yang Takut Karet Gelang!


Banyak orang rupanya memiliki phobia atau ketakutan akan sesuatu. Ada yang membiarkannya, ada yang mencoba melawannya, ada yang berdamai dengannya. Jalan apapun yang dipilih, tak ada yang bisa bilang mana yang paling ideal.

Sebelumnya, saya tak punya masalah dengan ketinggian. Namun kini iya. Bahkan untuk bisa menaiki sebuah eskalator di pusat perbelanjaan saja, saya tak berani melihat ke bawah dan harus berdiri di tengah, memastikan segala sesuatunya aman buat saya. Masalah ini muncul setelah di tahun 1998 saya melakukan bungy jumping, bahkan hingga dua kali. Mungkin boleh di bilang trauma. Namun intinya tetaplah sebuah ketakutan. Paranoid. Meskipun kala itu tak terjadi kejadian buruk.

Seorang sahabat saya takut karet gelang. Menggelikan, katanya. Sahabat saya yang lain, takut atau geli terhadap kecoa, kucing, ulat... Belakangan saya takut sama kematian.

Karet gelang, kecoa, kucing dan benda atau hewan lainnya bisa ditemui kapan dan di mana saja. Namun kematian? Mengapa mesti ditakuti? Bukankah semua orang akan mengalaminya jika waktunya tiba? Di mana saja, kapan saja.

Mungkin sebagian orang akan menilai saya terobsesi dengan topik 'kematian'. Ya, saat ini mungkin saya akui saya sedang terobsesi. Sesuatu yang belum pupus dari dampak pengalaman bathin yang saya alami. Saya merasa dari ke hari, petualangan saya untuk menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan rahasia 'penciptaan' dan 'penghilangan' semakin besar. Tak semua ingin saya jawab, setelah menyadari bahwa memang tak seharusnya saya jawab. Saya tak ingin terpuaskan betul.

Seorang sahabat yang juga psikolog berpesan kepada saya: "Jangan berhenti untuk menemukan jawaban." Maka saya akan terus mencari. Meskipun belum pada sebuah kesimpulan, saya merasa yakin untuk tidak lagi takut pada apapun. Tidak ketinggian, tidak kematian. Karena rasa takut hanya akan menjadi saya lengah dan lemah. Saya harus kuat, untuk bisa siap.

Ada yang masih takut terhadap sesuatu?

[Image hasil browsing internet]


Comments

Goth80s said…
Kematian itu kan bukan titik, tapi sebuah fase. Kehidupan lebih mengerikan krn yg terlanjur terjadi udah gak bisa diubah, sedangkan apa yg terjadi sesudah mati berarti petualangan baru. Apa situ ndak justru Penasaran ?

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.