Sejuta alasan mengapa sebagian dari kita tak bisa menjadi anak zaman. Inginnya mengiktui arus rotasi bumi, mengikuti alur usia, beradaptasi dengan perkembangan jaman. Namun kadang kita hanya bisa bermimpi, apa daya tak bisa mewujudkannya.
Idealnya, setelah lulus sekolah lanjutan atas, kita kuliah. Setelah tamat kuliah, kita bekerja. Namun ada sebagian dari kita yang tak memiliki kesempatan-kesempatan umum begitu. Ada yang harus menunggu, menunggu sangat lama, ada yang harus berjuang keras, berjuang sangat keras.
Suatu malam saya bertemu sahabat lama. Antara kami terpaut usia lumayan jauh, ia lebih muda. Terakhir bertemu sekitar setahun lalu (beberapa kali dalam waktu yang beruntun) dia menceritakan pekerjaan 'serius' dia dia sebuah perusahaan. Dibilang serius, menurut saya karena selama ini dia banyak bekerja sebagai part timer saja.
Bertemu dia, salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah tentang pekerjaan terakhirnya. Dia seakan lupa. "Pekerjaan yang mana?" Saya heran, lalu mengingatkan. "Oh, itu udah lama sekali. Sekarang gue kuliah." Katanya riang sambil menyebutkan dimana dia kuliah dan jurusannya. Kalau boleh sedikit saya tambahkan, bukan sekedar riang, namun juga penuh kebanggaan. Ah, dia akhirnya kuliah juga! Tentu saja dengan tulus saya menyatakan kegembiraan saya.
Pada sebuah perkemahan yang saya ikuti, saya bertemu sejumlah sahabat baru. Saya sempat menguping pembicaraan dari mereka. Kurang lebih begini: "Ketika temen-temen seumuran gue udah lulus kuliah, gue baru masuk kuliah. Waktu mereka bilang: hari gini baru masuk kuliah, kemana aja dulu? Gue cuma bisa bilang: yeah, kalo baru kali ini gue punya uang emangnya kenapa?"
Saya sempat menunda jadual masuk kuliah karena penasaran ingin tembus UMPTN. Lucky me. Jadi saat orang seusia saya kuliah, saya juga kuliah. Saya beruntung juga ketika breakdance meraja lela, sempat mencicipi tarian patah-patah ini. Ketika pipa celana harus disempitkan karena hampir semua orang melakukannya, saya juga sempat melakukannya. Ketika semua orang gandrung Ikang Fauzi, saya juga: pak kecipak pak preman, preman... Ketika yang lain nge-band, saya ikut. Maka setiap kali ada kesempatan nostalgia masa lalu, saya selalu punya cerita. Karena saya bagian dari pelaku, sebagai tokoh anak zaman.
Namun rupanya tak semua geliat zaman saya ikuti dengan seksama. Ketika saya pulang dari luar kota dengan kuping ditindik beberapa waktu lalu, seorang sahabat berkomentar. "Hari gini baru ditindik, kemana aja loe dulu?" Saya tersenyum dongkol. Tapi geli juga. Iya, kenapa baru kepengenan sekarang ini?
Ketika baru-baru ini seorang sahabat saya yang lain menjadi bulan-bulanan karena mabuk di sebuah nite club, giliran saya yang berkomentar. "Hari gini baru mabuk? Kemana aja dulu waktu orang-orang pada mabuk?"
[Buat D, good luck untuk kuliahnya. Buat ID, pasti kamu ngga nyangka kalo gue mendengar percakapan kalian dan mengingatnya. Buat SR, kemana aja, loe? Buat MD: kapan mabuk lagi? haha]
Bertemu dia, salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah tentang pekerjaan terakhirnya. Dia seakan lupa. "Pekerjaan yang mana?" Saya heran, lalu mengingatkan. "Oh, itu udah lama sekali. Sekarang gue kuliah." Katanya riang sambil menyebutkan dimana dia kuliah dan jurusannya. Kalau boleh sedikit saya tambahkan, bukan sekedar riang, namun juga penuh kebanggaan. Ah, dia akhirnya kuliah juga! Tentu saja dengan tulus saya menyatakan kegembiraan saya.
Pada sebuah perkemahan yang saya ikuti, saya bertemu sejumlah sahabat baru. Saya sempat menguping pembicaraan dari mereka. Kurang lebih begini: "Ketika temen-temen seumuran gue udah lulus kuliah, gue baru masuk kuliah. Waktu mereka bilang: hari gini baru masuk kuliah, kemana aja dulu? Gue cuma bisa bilang: yeah, kalo baru kali ini gue punya uang emangnya kenapa?"
Saya sempat menunda jadual masuk kuliah karena penasaran ingin tembus UMPTN. Lucky me. Jadi saat orang seusia saya kuliah, saya juga kuliah. Saya beruntung juga ketika breakdance meraja lela, sempat mencicipi tarian patah-patah ini. Ketika pipa celana harus disempitkan karena hampir semua orang melakukannya, saya juga sempat melakukannya. Ketika semua orang gandrung Ikang Fauzi, saya juga: pak kecipak pak preman, preman... Ketika yang lain nge-band, saya ikut. Maka setiap kali ada kesempatan nostalgia masa lalu, saya selalu punya cerita. Karena saya bagian dari pelaku, sebagai tokoh anak zaman.
Namun rupanya tak semua geliat zaman saya ikuti dengan seksama. Ketika saya pulang dari luar kota dengan kuping ditindik beberapa waktu lalu, seorang sahabat berkomentar. "Hari gini baru ditindik, kemana aja loe dulu?" Saya tersenyum dongkol. Tapi geli juga. Iya, kenapa baru kepengenan sekarang ini?
Ketika baru-baru ini seorang sahabat saya yang lain menjadi bulan-bulanan karena mabuk di sebuah nite club, giliran saya yang berkomentar. "Hari gini baru mabuk? Kemana aja dulu waktu orang-orang pada mabuk?"
[Buat D, good luck untuk kuliahnya. Buat ID, pasti kamu ngga nyangka kalo gue mendengar percakapan kalian dan mengingatnya. Buat SR, kemana aja, loe? Buat MD: kapan mabuk lagi? haha]
Comments