Skip to main content

Anak Zaman: Hari Gini Begitu, Dulu Kemana Aja?


Sejuta alasan mengapa sebagian dari kita tak bisa menjadi anak zaman. Inginnya mengiktui arus rotasi bumi, mengikuti alur usia, beradaptasi dengan perkembangan jaman. Namun kadang kita hanya bisa bermimpi, apa daya tak bisa mewujudkannya.

Idealnya, setelah lulus sekolah lanjutan atas, kita kuliah. Setelah tamat kuliah, kita bekerja. Namun ada sebagian dari kita yang tak memiliki kesempatan-kesempatan umum begitu. Ada yang harus menunggu, menunggu sangat lama, ada yang harus berjuang keras, berjuang sangat keras.

Suatu malam saya bertemu sahabat lama. Antara kami terpaut usia lumayan jauh, ia lebih muda. Terakhir bertemu sekitar setahun lalu (beberapa kali dalam waktu yang beruntun) dia menceritakan pekerjaan 'serius' dia dia sebuah perusahaan. Dibilang serius, menurut saya karena selama ini dia banyak bekerja sebagai part timer saja.

Bertemu dia, salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah tentang pekerjaan terakhirnya. Dia seakan lupa. "Pekerjaan yang mana?" Saya heran, lalu mengingatkan. "Oh, itu udah lama sekali. Sekarang gue kuliah." Katanya riang sambil menyebutkan dimana dia kuliah dan jurusannya. Kalau boleh sedikit saya tambahkan, bukan sekedar riang, namun juga penuh kebanggaan. Ah, dia akhirnya kuliah juga! Tentu saja dengan tulus saya menyatakan kegembiraan saya.

Pada sebuah perkemahan yang saya ikuti, saya bertemu sejumlah sahabat baru. Saya sempat menguping pembicaraan dari mereka. Kurang lebih begini: "Ketika temen-temen seumuran gue udah lulus kuliah, gue baru masuk kuliah. Waktu mereka bilang: hari gini baru masuk kuliah, kemana aja dulu? Gue cuma bisa bilang: yeah, kalo baru kali ini gue punya uang emangnya kenapa?"

Saya sempat menunda jadual masuk kuliah karena penasaran ingin tembus UMPTN. Lucky me. Jadi saat orang seusia saya kuliah, saya juga kuliah. Saya beruntung juga ketika breakdance meraja lela, sempat mencicipi tarian patah-patah ini. Ketika pipa celana harus disempitkan karena hampir semua orang melakukannya, saya juga sempat melakukannya. Ketika semua orang gandrung Ikang Fauzi, saya juga: pak kecipak pak preman, preman... Ketika yang lain nge-band, saya ikut. Maka setiap kali ada kesempatan nostalgia masa lalu, saya selalu punya cerita. Karena saya bagian dari pelaku, sebagai tokoh anak zaman.

Namun rupanya tak semua geliat zaman saya ikuti dengan seksama. Ketika saya pulang dari luar kota dengan kuping ditindik beberapa waktu lalu, seorang sahabat berkomentar. "Hari gini baru ditindik, kemana aja loe dulu?" Saya tersenyum dongkol. Tapi geli juga. Iya, kenapa baru kepengenan sekarang ini?

Ketika baru-baru ini seorang sahabat saya yang lain menjadi bulan-bulanan karena mabuk di sebuah nite club, giliran saya yang berkomentar. "Hari gini baru mabuk? Kemana aja dulu waktu orang-orang pada mabuk?"

[Buat D, good luck untuk kuliahnya. Buat ID, pasti kamu ngga nyangka kalo gue mendengar percakapan kalian dan mengingatnya. Buat SR, kemana aja, loe? Buat MD: kapan mabuk lagi? haha]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.