Skip to main content

Apocalypto



Pilih sendiri cara kematianmu! Seorang anak dengan penyakit mematikan berbisik pada seorang barbar.

Menarik sekali menyaksikan film besutan sutradara indi Mel Gibson ini. Kita sedang menyaksikan keadiluhungan martabat manusia dan bagaimana kekuatan di luar kita bekerja. Karena Tuhan adalah milik semua umat, pun bagi mereka yang tidak menyadari bahwa Tuhan itu ada.

La tahzan, jangan takut! Karena ketakutanmu adalah kelemahan terbesar. Saat kau merasa bahwa tak ada jalan lain untuk persoalan yang kau hadapi, berpasrahlah. Karena kau tak sendiri. Maka Sang Pengkehendak akan bekerja dengan cara yang sangat ajaib, hingga kau tak akan percaya dengan apa yang terjadi kemudian. Kecuali keyakinanmu akan semakin tebal dan kian bertambah kepada Sang Pengkehendak itu.

Film tentang takdir. Tentang masyarakat hutan dan bagaimana agama-agama purba yang ada di dalamnya yang dengan segala keterbatasan kajian dan pemahaman akan alam semesta serta ketuhanan itu sendiri. Di mana alam adalah guru dan pemberi hidup. Tentang bagaimana insting bersanding dengan naluri dan segala kepekaan spiritual menjadi sebuah kekuatan untuk bisa selamat.

Tentang dignity dan cinta. Tentang pengorbanan. Tentang manusia dan seperlunya memanusiakan manusia. Tentang bagaimana hidup dan mati bisa datang kapan saja. Tentang takdir. Karena tak ada sesuatu atau sesiapun yang bisa mempercepat atau memperlambat kapan saat itu tiba. Kematian adalah rahasia Sang Pemilik Hidup. Maka yang lemah tak selamanya lemah. Berpasrahlah. Karena yang kau kira akhir segalanya, bisa jadi adalah awal bagi segalanya.

Read the omens. You'll survive.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.