Skip to main content

Blogger Attitude

Apakah setiap saya posting sesuatu di blog mengharap respon dari pembaca? Kadang ya, kadang tidak. Apakah setiap mendapat respon saya akan senang? Banget. Apakah setiap tidak mendapat respon yang diharapkan saya akan sedih?

Saya memiliki account Multiply ini sudah cukup lama. Namun pada awalnya hanya untuk upload foto. Untuk posting tulisan tentang pemikiran, curhat, hingga puisi, saya upload pada account khusus beralamat di suhudugly.blogspot.com. Meskipun pada account itu, saya juga memasukkan foto-foto hasil jepretan saya.

Pada account blogger atau blogspot, saya cenderung tidak mengharapkan komentar dari pembaca. Bahkan fasilitas reply saya hilangkan. Dengan kondisi ini, saya merasa sangat nyaman, private, dan khusyu.

Namun, beberapa bulan terakhir saya memelihara dua account saya itu dengan treatment yang nyaris sama. Saya meng-upload tulisan dan content yang hampir sama pada keduanya. Namun tetap, saya tidak mengaktifkan fasilitas reply pada account blogger. Tak ada alasan khusus. Hanya, biarlah saya sendirian. Walaupun sejumlah pembaca kadang mengirimkan pesan khusus, mereka ingin berkomentar tapi tak bisa.

Saya juga memiliki account khusus untuk menimpan koleksi puisi saya, account lain untuk menulis cerita bersambung saya, dan foto-foto karya saya. Banyak account, tapi sedikit sekali energi untuk memelihara semuanya dengan adil.

Apakah saya selalu mengharap reaksi dari setiap karya yang saya upload? Kadang ya, kadang tidak. Kemudian saya perlu berkompromi dengan segala situasi. Sekejap saya biarkan karya saya (tulisan, foto, etc) mengembara di jagat maya. Saya ikhlaskan mereka dibaca, diabaikan, dicaci, dinikmati, dicibir...

Namun yang jelas, sekarang saya merasa bahwa setiap reaksi dari pembaca adalah anugerah. Saya merasa perlu bersyukur dan berterima kasih untuk setiap reaksi yang saya dapat. Reaksi pembaca adalah energi positif bagi kesuburan ide di kepala saya. Lalu ketika saya mendapat begitu banyak energi dari pembaca, alangkah egoisnya jika saya tak melakukan sebaliknya. Saya ingin sekali membagi energi yang saya miliki, dengan membuka account milik sahabat-sahabat saya, secara bergiliran, memberikan tanggapan, memberi dukungan.

Tulisan mereka adalah pencerahan. Foto-foto mereka adalah keajaiban. Mereka adalah energi yang tak ada habisnya. Terima kasih Gusti, telah menghadiahi saya keajaiban ini.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.