Skip to main content

Beggars Affair


Jika Anda sering menikmati street food entah di kawasan Menteng, Sabang, Pacenongan, Blok M, atau Al Azhar, bahkan di Malioboro, Dago, dan kawasan favorit lain di berbagai kota, Anda perlu menyiapkan sejumlah uang ekstra untuk Anda ikhlaskan kepada para peminta-minta. Tak bisa disebut lagi uang recehan, karena jika recehan ini tak berkencring nyaring di kantong uang mereka, kita akan digerutui. Niat menyumbang jadi mendapat kesal.

Ada berbagai macam peminta-minta rupanya:
Pengemis. Melintaslah pada sebuah jembatan penyembarangan di sepanjang Sudirman. Anda akan menemukan sejumlah pengemis yang duduk atau rebahan dengan berbagai pose menantang nan fotogenik. Setiap pagi buta, mereka didrop oleh pengasuhnya. Beda dengan preman yang sering berantem karena rebutan lahan perasan, untuk para pengemis, lahan untuk mencari nafkah cenderung aman. Mereka hanya duduk, urusan ditempatkan dimana terserah sang pengasuh.

Mereka yang bugar, harus berani tampil kuyu dan seolah penuh kesakitan. Kadang mereka lupa dengan tubuh tambunnya. Mereka juga dibekali kain perban dan obat merah. Jika dua tahun lalu anda melihat seorang pengemis dengan luka merah di kaki dan kemarin Anda melihat dia dengan luka yang sama, jangan heran. Mereka tak sesungguhnya luka. Tak hanya di jembatan penyebrangan, mereka juga terlihat di lampu merah, dan trotoar.

Pengemis yang tidak diorganisir akan berkeliling kemana-mana. Ia ada di tempat kita jajan, ia ada di tempat beribadah, door to door dari rumah ke rumah seperti salesman kompor, ada juga yang naik turun kendaraan umum.

Pengemis Anak. Kelompok ini tak bisa diabaikan. Jumlahnya banyak. Mereka terlihat dimana-mana. Setahun lalu, UNICEF mengeluarkan sebuah kampanye agar masyarakat tidak memberi uang kepada anak-anak jalanan yang mengemis atau kegiatan meminta-minta lainnya. Jika mereka bilang untuk makan dan sekolah, tidak sepenuhnya benar. Terbesar pengeluaran mereka adalah untuk main games (playsation, ding dong), jajan, dan setor pada orang tua. Jika kita terus memberikan uang pada mereka, mereka akan menikmati menerima uang tanpa bekerja. Itu hal yang tak baik. Mereka jadi enggan sekolah. Padahal untuk kelompok mereka, baik sekolah maupun tempat tinggal sudah disediakan oleh berbagai instansi.

Pengamen. Sendiri-sendiri atau berkelompok, mereka menyanyikan sebaris dua baris lagu. Kita punya alasan mengapa buru-buru memberikan uang pada mereka: supaya mereka lekas pergi! Tentu saja kehadiran mereka sangat mengganggu. Kadang karena kita sedang asyik mengobrol dan berdiskusi dengan sahabat.

Mereka akan menghindari kontak mata dengan kita. Karena begitu terjadi, mereka tahu kita akan mengangkat kelima jari kita tanda bye bye.

Sebagian pengamen ada yang melakukannya dengan hati. Mereka mencari nafkah sekaligus menghibur. Mereka santun dan menyenangkan. Sebagian lain melakukannya karena untuk membeli bir atau drugs, untuk menghidupi keluarga, dan ada juga untuk kamuflase karena utamanya adalah seniman atau copet.

Pengamen anak-anak di dalam bis kota, akan menyebarkan amplop kosong kepada para penumpang dengan tulisan bahwa uang yang mereka dapat untuk bayaran sekolah, beli obat karena ibunya sakit, untuk makan, dll. Setelah satu lagu selesai bahkan tanpa refrain mereka nyanyikan, mereka akan menagih amplop-amplop yang disebarkan tadi. Sambil berharap semoga para penumpang memasukkan uang ke dalam amplopnya.

Peminta Sumbangan. Berpeci dan berkerudung, kelompok ini menyerbu kota dengan kotak persegi, map proposal, dan senyum manis. Mereka ada di setiap kerumunan orang ada. Mereka meminta sumbangan untuk alasan membangun mesjid, pesantren, majlis taklim. Menjadi sangat tidak jelas, mana yang betulan perwakilan dari panitia pembangunan tempat-tempat beribadah itu atau penipu. Hanya Allah yang tahu.

Kepada siapa uang kecil Anda akan Anda sumbangkan?
- Kepada para pengemis yang sebetulnya tak sakit? Sementara separuh pendapatan mereka menjadi upeti para pengasuhnya yang hidup mewah?
- Kepada para pengemis anak-anak? Supaya mereka terus betah di jalanan dan semakin enggan pergi ke sekolah?
- Kepada para pengamen? Agar hati Anda tentram terbebas dari gerutuan dan sindiran para pengamen jika kita tidak memberi mereka uang? Apalagi jika penampilan kita necis dan keren. Mereka akan tambah sinis.
- Kepada panitia pembangunan tempat ibadah?

Mau ikhlas, nmaun kadang kita mengajkan syarat. Bahwa mereka betul-betul sakit, betul-betul sebuah mesjid sedang dibangun, betul-betul orang tua mereka sakit, betul-betul untuk menymbung hidup.

Ah, kadang kita bersusah hati dan berburuk sangka dengan mereka. Allah Mahatahu. Allah Mahamembalas. Sekali memberi berarti memberi, ikhlaskan. Mereka benar atau bohong, biar menjadi urusan mereka saja.




Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.