Skip to main content

BFF = Best Friend Forever

Saya menimbang-nimbang selembar surat yang baru saja saya baca. Seorang sahabat terdekat saya menuliskan isi hatinya. Ia rupanya jatuh cinta sama saya. Apa yang harus saya lakukan, padahal saya tak bisa membalas cintanya? Saya tak ingin hubungan persahabatan kami rusak karena urusan cinta bertepuk sebelah tangan. Itu peristiwa lama. Bertahun-tahun kemudian, hingga sekarang meskipun sudah jarang bertemu karena ia sudah berkeluarga, kami masih jadi sahabat. We're best friend forever. Waktu rupanya yang menunjukkan kualitas dari sebuah hubungan persahabatan dan kualitas dari sahabat itu sendiri.

Sepasang pesohor tanah air yang keduanya saya kenal baik melalui cerita-cerita dari seorang sahabat, telah memasuki mahligai pernikahan yang tak bisa disebut bahagia. Sebentar-sebentar ribut. Urusan kecil saja bisa ribut. Beberapa tahun mereka menikah, lalu bubar. Herannya setelah bubar, mereka jadi sangat akur. Mereka jadi sepasang sahabat yang saling mengisi dan memberi support satu sama lain. Pun ketika si pria hendak memilih isteri baru, sang mantan isteri yang jadi penasihatnya. Best friend forever.

Saya mengingat seorang sahabat kecil saya. Ia dan keluarganya tinggal di luar kota. Jika pun bertemu mungkin bisa dihitung dengan jari setiap tahunnya. Namun kami masih berhubungan meskipun hanya lewat SMS atau telpon. Ia selalu bilang nasibnya tak seberuntung saya. Maka setiap kali ia ingin berkomunikasi, ia akan mengirim sebuah SMS yang isinya agar saya menelpon ia balik. Kadang sekedar untuk tanya kabar. Tentu saja saya tiada berkeberatan. He's my best friend forever.

Jika semua orang baik yang pernah saya temui dalam hidup saya menjadi sahabat-sahabat dengan kualitas nomor satu, tak lapuk digerogoti waktu, tak hilang diterpa badai, bahagia rasanya hati ini. Mereka ada, selalu ada. Maka di setiap doa yang saya panjatkan, kepada Allah pemilik semesta raya, saya memohon:
Ya Allah,
Demi para sahabat yang aku cintai
Karena aku mencintai-Mu, Engkau mencintaiku, maka cintailah orang-orang yang aku cintai
Ampuni dosa kami
Lindungi kami
Jauhkan dari mara bahaya dan dari godaan setan
Bersihkan hati kami dari sifat-sifat yang tidak baik
Sembuhkan kami yang sakit
Hibur kami yang kesusahan
Lancarkan segala usaha kami
Ya Allah,
Engkau Mahaberkehendak
Kabulkan segala doa kami

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.