Skip to main content

'Empat Mata' dan Rekayasa Honor Tukul


"Tadi malam nonton Empat Mata?" tanya seorang sahabat satu kantor. "Ngga," jawab saya pendek. Besoknya, ia bertanya lagi. Saya jawab dengan kata yang sama tanpa penasaran mengapa dia menanyakan hal yang sama berturut-turut. Sahabat saya ini penggemar berat acara yang disiarkan oleh Trans 7 itu.

Ganti hari, kembali pertanyaan itu terulang. Dia gemas sekali karena sepertinya ingin membahas sesuatu tentang acara tersebut tapi saya tak menaruh perhatian. "Tadi malam nonton Tukul?" Saya menghela nafas. "Should I?"

Tentu saja saya mengikuti perkembangan berita. Tentu saja saya mengikuti perkembangan media karena saya orang komunikasi. Saya tahu acara Empat Mata sedang sangat digemari. Namun jujur saja, saya belum pernah secara sengaja menonton acara ini. Sekilas menonton ketika di rumah makan yang saya kunjungi televisi sedang menayangkannya. Sekilas menonton ketika di warung dekat rumah menayangkan acara yang sama. Begitulah. Sekilas demi sekilas dan cukup buat saya untuk mengetahui semacam apa tontonan tersebut.

Bukan sinis, tapi acara tersebut memang tak pernah menarik perhatian saya. Saya sungguh kagum dengan orang-orang di belakang layar yang bekerja keras membuat acara Empat Mata sukses. Karena tentunya tak mudah membuat sebuah acara yang bisa diminati banyak penonton dan disukai pengiklan.

Acara tersebut menjadi terlihat dan terkesan hebat karena juga dibantu oleh seperangkat alat promosi, PR, marketing, dan strategi komunikasi yang tidak sederhana. Termasuk rekayasa tentang honor yang diterima Tukul sang pembawa acara yang konon Rp 20 juta per episode.

Hmm, semua orang berdecak kagum dengan prestasi Tukul. Sejumlah orang sibuk menghitung pemasukan Tukul per bulan, per minggu, bahkan per menit. Lebih sinting lagi, ada orang yang sedemikian iseng membandingkan penghasilan Tukul dengan David Beckham.

Semua tampak benar. Namun apakah ada yang pernah melihat angka yang tertulis pada lembar kuitansi yang diberikan oleh pihak Trans 7 kepada Tukul setiap minggunya? Kasihan Tukul. Honor yang sebenarnya tentu saja tak sebesar itu. Namun demi popularitas, apa boleh buat. Semua bentuk berita menjadi halal.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.