Skip to main content

Friday the 13th


Stasiun TVRI dulu sekali pernah menayangkan film Friday the 13th, film maha seram yang tak pernah ingin saya tonton lagi. Namun menurut saya, seseram-seramnya film horor yang dibuat sineas asing, lebih seram lagi film horor yang dibuat sineas dalam negeri. Mungkin karena kedekatan cerita yang diangkat dengan kehidupan sehari-hari hingga membawa dampak lebih seram. Tentu saja jangan dibandingkan dengan teknologi dan teknik filmis yang orang asing miliki.

Masa remaja, saya gemar membaca novel dari berbagai genre. Termasuk karya Abdullah Harahap yang biasanya sangat horor. Lihat saja judul-judulnya yang cukup mewakili isinya seperti Panggilan Neraka, Menebus Dosa Turunan, dan Penyesalan Seumur Hidup. Cerita-cerita yang dituangkan tak jauh dari kisah hantu, siluman, iblis. Saya ingat salah satu tokoh dari salah satu novelnya bernama Sentana. Mengapa tokoh itu bernama Sentana, karena ternyata ia adalah sesosok setan yang menyerupai manusia. Sentana=SEnTANa.

Saya belum pernah melihat hantu dan sama sekali tak pernah ingin bertemu mereka. Banyak orang membuat testimoni pernah melihat hantu. Saya harus rela ketika pohon jambu air yang saya tanam di halaman rumah ditebas atas perintah seorang tukang atas perintah Ibu saya. Beberapa tetangga melihat ada kuntilanak berayun-ayun di puncak pohon. Meskipun Ibu tak percaya, namun demi menjaga hubungan baik dengan tetangga, ya begitulah.

Hari ini Jumat. Entah mengapa sejak dahulu, hari Jumat selalu dihubungkan dengan aktifitas makhluk-makhluk dari alam kubur. Ketika saya kecil masih tinggal di kampung, rumah-rumah masih jarang, pohonan masih kerap, lampu-lampu masih terbatas. Setiap malam Jumat, setuap penjuru kampung selalu tampak lebih menyeramkan dari biasanya.

Hari ini tanggal 13. Sebagian orang percaya angka ini adalah angka sial. Sebuh lift dari gedung tinggi di Amerika, jatuh bebas dari lantai 13 hingga menyebabkan para penumpangnya tewas. Disney Land mengabadikan peristiwa ini dengan membuat replika lift tersebut dan menjadikannya sebuah objek hiburan yang memacu adrenalin. Banyak pemilik gedung, tidak saja di Indonesia, tapi juga hamir di seluruh dunia, menghindari angka 13 untuk menomori lantai 13.

Today is Friday the 13th. Seorang sahabat membuat event di seubha nite club dengan memberinya judul Friday the 13th. Syereeem...










Comments

Goth80s said…
Tulisan anda menarik; saya juga iseng2 bikin blog.. meskipun bikin blog bukan buat menumpahkan perasaan kayak situ :p Friday the 13th jadi ingat masa lalu, saya daridulu dekat sekali dg hal2 berbau klenik; itulah yg menjadikan diri g seperti apa adanya sekarang, orang aneh ^^
Anatomi Angin said…
eh, seaneh apa? seru juga bisa kenal sama orang aneh. :) thank.

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.