Saya selalu menunggu Kompas terbitan akhir pekan lebih penuh suka cita dibanding hari-hari lainnya. Tentu saja, karena saya bisa membaca dua terbitan ini di atas tempat tidur atau sambil mengudap sarapan. Tanpa harus terburu-buru pula. Kadang koran saya terima pagi, bacanya bisa sore menjelang malam.
Tak semua artikel saya baca, kecuali semua judul artikel. Ada yang menarik saya baca, tak menarik saya tinggalkan. Salah satu tulisan yang jarang saya lewatkan adalah buah pena Samuel Mulya. Saya tidak tahu bagaimana lelaki jadi-jadian ini [begitu dia meyebut dirinya] bisa tampil setiap minggu di harian nasional sebesar Kompas. Mungkin jika saya akan menjadi pelengkap kekaguman saya.
Ringan, jenaka, seringnya mengejutkan. Dengan analogi da ersonifikasi yang sinting dan kadang sinis, Samuel menghidangkan tulisannya dengan gaya hari Minggu yang santai namun pintar. Gaya lelaki (sok) gedongan yang bergaul tengah malam dengan aneka makhluk ajaib yang berhasil menyajikan tak saja topik-topik masyarakat langitan, namun juga keseharian semua orang, tentang sifat-sifat kita, kecemburuan, kesakithatian, kejujuran.
Samuel yang melahirkan majalah A+ dan kini menggawangi Soap Magazine itu jujur menertawakan lingkungan dan dirinya sendiri. Kejujuran tentang dirinya yang androgini pula yang membuat dia tanpa batasan menuangkan isi hati dan kepalanya. Ah, dia tak punya hati saya rasa. Lihat saja bagaimana dia mencela orang. Lihat saja bagaimana dia juga mencela dirinya sendiri. Dengan kejujuran itu ia bisa bercerita dari berbagai sudut tanpa kuatir dihakimi oleh pembacanya.
Namun beberapa tulisan terakhirnya agak kedodoran. Terlalu dipaksakan karena kejar tayang. Ah, semoga ia segera memperbaiki kualitasnya lagi. Supaya Kompas tak buru-buru memutus kontraknya. I really wanna kill him if he stops writing.
Tak semua artikel saya baca, kecuali semua judul artikel. Ada yang menarik saya baca, tak menarik saya tinggalkan. Salah satu tulisan yang jarang saya lewatkan adalah buah pena Samuel Mulya. Saya tidak tahu bagaimana lelaki jadi-jadian ini [begitu dia meyebut dirinya] bisa tampil setiap minggu di harian nasional sebesar Kompas. Mungkin jika saya akan menjadi pelengkap kekaguman saya.
Ringan, jenaka, seringnya mengejutkan. Dengan analogi da ersonifikasi yang sinting dan kadang sinis, Samuel menghidangkan tulisannya dengan gaya hari Minggu yang santai namun pintar. Gaya lelaki (sok) gedongan yang bergaul tengah malam dengan aneka makhluk ajaib yang berhasil menyajikan tak saja topik-topik masyarakat langitan, namun juga keseharian semua orang, tentang sifat-sifat kita, kecemburuan, kesakithatian, kejujuran.
Samuel yang melahirkan majalah A+ dan kini menggawangi Soap Magazine itu jujur menertawakan lingkungan dan dirinya sendiri. Kejujuran tentang dirinya yang androgini pula yang membuat dia tanpa batasan menuangkan isi hati dan kepalanya. Ah, dia tak punya hati saya rasa. Lihat saja bagaimana dia mencela orang. Lihat saja bagaimana dia juga mencela dirinya sendiri. Dengan kejujuran itu ia bisa bercerita dari berbagai sudut tanpa kuatir dihakimi oleh pembacanya.
Namun beberapa tulisan terakhirnya agak kedodoran. Terlalu dipaksakan karena kejar tayang. Ah, semoga ia segera memperbaiki kualitasnya lagi. Supaya Kompas tak buru-buru memutus kontraknya. I really wanna kill him if he stops writing.
Comments