Skip to main content

Jadi Pegawai Negeri, Siapa Mau?


Kasus penganiayaan mahasiswa IPDN terus bergulir dengan menyeret semakin banyak pihak. Aksi tutup mulut hampir semua unsur di IPDN membuat banyak kasus menyublim hingga sulit terbongkar. Tentu saja mereka kuatir sesuatu yang buruk terjadi dengan kampus mereka. Misalnya, IPDN dibubarkan. Mereka mau kemana? Padahal, sejumlah demontrasi digelar di jalanan menuntut IPDN dibubarkan.

Amat dimengerti jika orang-orang itu membisu. Jika mereka berkoar, akan berdampak pada hilangnya impian mereka menjadi pegawai negeri. Ah, hari gini masih banyak orang yang menjadi pegawai negeri, ya?

Meskipun dari SD hingga perguruan tinggi saya terus belajar di sekolah negeri, namun tak pernah terpikir untuk menjadi pegawai negeri.

Seorang kakak perempuan saya menjadi pegawai negeri ketika baru saja lulus sekolah lanjutan atas. Dia harus mengatur jadual kuliah dengan jadual rutin sebagai pegawai negeri. Kakak ipar saya, merasa bosan dengan menjadi pegawai negeri. Bosan karena karirnya mentok, bosan karena penghasilannya sedikit. Maka ia keluar dan memilih bekerja di sektor swasta. Syukurlah, karirnya mulai menanjak.

Seorang sahabat saya, setiap tahun mengikuti berbagai tes masuk menjadi pegawai negeri dari berbagai departemen. Mulai dari Deplu hingga Depdiknas. Bertahun-tahun menjadi pegawai swasta dengan karir dan penghasilan menjulang, ia tinggalkan begitu ia lulus tes masuk menjadi pegawai negeri dengan gaji yang astaga, sangat jauh dari yang biasa ia kantongi. Tapi ia sangat happy karena tujuan hidupnya tercapai.

Saya melihat banyak pegawai negeri bangga dengan statusnya. Jika kita perhatikan apa yang mereka kerjakan dari pagi hingga sore (eh, siang. mereka banyak yang tak sampai sore bekerja) tak terlihat produktif.

Pegawai negeri itu mestinya melayani masyarakat. Mereka digaji oleh pemerintah. Pemerintah mendapat uang dari pajak yang kita bayarkan setiap bulan, setiap tahun. Ketika kasus IPDN mencuat, seorang sahabat saya yang pengusaha itu sangat geram. "Jadi selama ini gue bayar pajak hanya buat nafkahin preman-preman?"

[Foto hasil browsing internet]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.