Skip to main content

Kini Semua Orang di Dunia Punya Hobi Seragam: Traveling & Fotografi


Pada sejumlah kitab suci agama-agama besar di dunia, tercantum gejala-gejala jika dunia mau kiamat. Untunglah bahwa keseragaman hobi penduduk di dunia bukanlah salah satu gejala itu.

Memasuki era digital seperti sekarang ini, hobi orang-orang bisa seragam: traveling dan fotografi! Melihat profil orang-orang pada personal website mereka, seperti pada Friendster, Myspace, Orkut, atau Multiply, ramai-ramai mereka menulis 'traveling dan fotografi' pada kolom hobby. Mereka suka traveling karena hobinya fotografi atau mereka punya perangkat fotografi karena hobinya traveling. Dua kemungkinan yang bisa jadi masing-masing benar. Tidak itu saja, saya melihat bahwa virus digital ini pun telah menjangkiti attitude dan pola pikir masyarakat.

Sekian tahu lalu ketika saya memulai hobi fotografi, hobi ini dibilang mahal karena benar-benar mahal. Beli film, beli cairan kimia untuk cuci cetak jika ingin cetak hitam putih, cuci cetak ke studio jika ingin warna. Padahal fotorgafi itu candu. Jika terus mengikuti daya tariknya, kita akan dibuat bangkrut. Krut. Krut. Saat itu digital belum seramai dan semurah sekarang. Sekarang semua orang suka fotografi. Dengan menggesek kartu kredit dan bagaimana nanti membayarnya, orang-orang kini bisa bergaya: jalan-jalan dengan menjinjing kamera.

Sekian tahun lalu, orang-orang masih berdiri berjajar kaku ketika berpose untuk sebuah potret. Kini, dengan tangan terentang dan melompat-lompat ke udara, mereka bergaya tanpa menghiraukan usia dan kasta. Semua merasa punya hak untuk tampil menawan. Mau berwajah keren atau sekedar pas-pasan, sekarang semua orang tampil percaya diri. Semua orang merasa cantik. Semua orang merasa ganteng.

Belum cukup sekedar berfoto, foto-foto yang kadang memamerkan bulu ketek dan gigi gingsul itu masih juga dipamerkan di website pribadi masing-masing. Manusia modern kini punya website. Bisa diisi apa saja. Yang bisa menulis indah akan menulis indah. Yang bisa mengomelnya ngomel, akan mengomel. Yang tak bisa apa-apa, hanya sekedar memasang lagu dan meng-copy paste tulisan orang. Yang punya kamera dan hobi jalan-jalan akan meng-up load foto-foto perjalananya.

Begitulah. Semua orang menjadi narsis. Menurut pakem dulu, narsis itu merupakan cinta pada diri sendiri secara berlebihan. Kini mereka tak malu lagi mengakui diri mereka sebagai makhluk narsis. Semua orang kini menjadi ekstrovert. Bayangkan saking ekstrovertnya, curhat saja di website pribadi. Satu dunia bisa baca! Dan cuek bebek.



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.