Skip to main content

Maybe in May: May I?


Bulan Mei tinggal hitungan hari kita jelang. Waktu mengalir tanpa terasa membawa kita pada suatu masa. "Baru kemarin Jumat, udah mau Jumat lagi." Seorang sahabat berkomentar. Iya, belum lama kita mengisi kesibukan di bulan Mei, eh, sekarang sudah mau Mei lagi. Ungkapan betapa betapa cepatnya waktu berlalu. Waktu tak akan pernah menunggu apakah kita masih berkutat pada sebuah persoalan yang sama sejak beberapa waktu lalu atau sudah berpindah ke masalah lain.

Bulan Mei bukanlah bulan kelakar seperti yang memiliki perayaan internasional April Mop. Bukan pula semonumental Desember atau Agustus yang memiliki sejarah besar bagi bangsa kita. Namun di mata para kreatif, kata 'May' adalah sebuah ide brilian. Iklan TV A Mild versi 'may be yes, maybe not' sesaat setelah diluncurkan, benar-benar mencuri perhatian. Iklan jenaka ini dibuat untuk menggantikan versi 'polisi tidur' yang digugat oleh Kepolisian RI.Ketika seorang sahabat lama bertanya kapan saya menikah, saya memungut jargon itu: "Bulan Mei."

Presiden SBY berjanji akan mengumumkan reshuffle kabinetnya pada bulan Mei. Menjadi spekulasi sejumlah kalangan kira-kira siapa yang layak dicopot dan diganti. Saya tak memiliki kandidat mana yang mesti dipecat dan siapa yang perlu diangkat. Menurut saya, siapa pun yang menjadi mentri akan tak bisa optimal bekerja selama presidennya masih orang yang tak tegas bertindak, tak mau mengingkari kontrak politik dengan lawan politiknya. Padahal selama ia masih menjabat, terserah amat. Yang penting bisa berbuat hebat bagi negara dan rakyat.

Mei pernah menjadi bulan keramat bagi saya. Memperhatikan curriculum vitae, beberapa kali saya masuk kerja pada bulan Mei dan berakhir pada bulan April tahun-tahun berikutnya. Seolah menagih sebuah pattern lama, saya menunggu kejutan apa yang akan terjadi di akhir April tahun ini dan di awal Mei. Apakah saya akan terkena reshufle? Apakah akan pindah ke tempat kerja baru?

Atau, saya akan mendirikan sebuah perusahaan?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.