Skip to main content

Multi-task People: Are You?




Seorang sahabat saya akan sangat fokus dan konsentrasi jika sedang bekerja di depan komputernya. Bahkan jika saya interupsi untuk sesuatu hal penting pun, akan digubris. Seolah budeg. Seolah dia hidup sendiri. Saya sering menyebutnya autis. Sering menjengkelkan jika berurusan dengan dia saat dia sedang berperilaku demikian. Bisa hilang kesabaran. Mungkin itu kekurangan dia, mungkin justeru itu kelebihan dia.

Saya tak bisa membayangkan akan fokus pada satu pekerjaan dalam satu waktu tertentu. Mungkin kekurangan saya, mungkin juga kelebihan. Ketika saya mulai bekerja, semua pekerjaan yang mesti selesai hari itu akan saya gelar di depan meja. Agenda termasuk to do list di dalamnya, proposal, draft surat-surat, sample product, daftar orang yang mesti ditelpon, ini itu... Belum lagi jika harus diselingi dengan meeting, briefing, supervisi ini itu. Meja saya akan sangat kacau. Tak muat di atas meja, akan juga menjajah wilayah kolong meja, dan meja tetangga. Ketika satu per satu pekerjaan beres, saya akan mencoret to do list satu per
satu juga. Pelan-pelan wilayah meja saya akan mulai terurai.

Jika meja saya terlihat rapi, itu artinya saya tak punya pekerjaan yang mesti dikerjakan.

Saya tak bisa mengerjakan pekerjaan secara satu per satu, kecuali jika pekerjaan itu memang satu-satunya yang mesti diselesaikan. Namun itu pun kadang banyak terhalau oleh hal-hal lain. Misalnya saya sedang mengerjakan sebuah proposal projek. Belum selesai, tiba-tiba saya teringat akan foto-foto yang perlu diedit, saya akan mampir ke folder foto untuk mengopeni mereka. Tidak sampai kelar, saya akan balik ke pekerjaan awal. Tak lama, saya akan teringat dengan novel yang baru saya beli, saya akan membacanya sebentar lalu balik lagi ke proposal. Belum kelar, saya akan menyeleweng ke hal lainnya. Begitu seterusnya, hingga untuk membuat satu proposal saja saya perlu waktu tiga hari. Herannya, jika sedang kepepet, seringnya sebuah proposal bisa kelar hanya dalam 30 menit!

Di rumah, saya tak memiliki pembantu. Segala urusan rumah saya tangani sendiri. Sejak baju saya sering hilang di binatu, saya putuskan untuk mencuci dan ironing sendiri. Dimana ada energi lebih, waktu senggang, saya sempatkan untuk mengurus segala pekerjaan rumah.

Ketika saya sedang ironing, saya akan gelisah minta ampun jika tak sekalian melakukan hal lain. Sepertinya panca indera saya pun harus bekerja. Maka saya akan sekaligus menyalakan televisi. Menyetrika dua atau tiga potong baju mungkin tak apa-apa. Namun jika jumlahnya lebih dari itu, rasa bosan akan segera menyergap. Sambil menyetrika, saya juga akan menggoreng kentang. Sambil membuat jus, sambil membuka majalah, sambil ini sambil itu. Pekerjaan yang mestinya kelar dalam tiga puluh menit misalnya, akan molor jadi dua jam.

Hingga saat ini saya belum bisa memutuskan, mempertahankan menjadi multi-task person or one task in one moment person.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.