Skip to main content

April Mop Was Over

Satu April, ketika semua lelucon dianggap halal dan menyenangkan. Buat saya, april mop sudah lewat. Bukan karena sekarang sudah lewat dari tanggal satu. Lebih dari itu, saya sepertinya perlu menghentikan kebiasaan jahil pada tanggal 1 April.

Beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba saya mendapat 'kebisaan' untuk membaca nasib orang melalui kartu tarot. Seorang sahabat pernah mengingatkan bahwa saya mendapat sebuah gift. Artinya, saya harus mulai berhati-hati dengan ucapan saya. "Bisa menjadi kenyataan." Saya bergidik. Padahal saya paling asal bicara. Sepertinya peringatan itu benar adanya. Bahkan apa yang cuma saya pikirkan, sering menjadi kenyataan. Suatu hari di bulan Februari, saya menulis di blog. Tentang ramalan saya bahwa akan terjadi gempa hebat di Jakarta.

Belum lama ini aya bertemu seorang agen majalah. Ceritanya, pertengahan Maret lalu penjualan majalah Kartini menjulang sangat tinggi. Gara-garanya pada edisi itu, Kartini memuat ramalan Mama Lauren tentang akan terjadinya gempa bumi hebat di Jakarta. Dimuat juga foto awan vertikal yang terlihat di wilayah Jakarta yang menjdi pertanda alam akan terjadinya gempa. Untuk mendukung tulisan, pihak redaksi memuat foto awan vertikal di Kobe, Jepang, menjelang terjadinya gempa di kota itu 17Januari 1995. Rahasia Tuhan.

Saya tertegun. Apa jadinya jika gempa betul-betul terjadi di Jakarta? Saya menjadi sangat paranoid. Kuatir terobsesi dengan ramalan saya karena rupanya Mama Lauren peramal terkenal itu juga meramalkan hal yang sama.

Belum lama ini saya terkapar kena malaria. Sesuatu terjadi dan saya ingin mengurangi dan bahkan ingin berhenti melakukan dosa. Saya bertanya kepada beberapa orang apakah membaca tarot juga bagian dari pebuatan yang dilarang agama? Jawabnya: ya. Meskipun belum khlas betul untuk melupakana saja kemampuan saya meramal, saya mencoba menerima kenyataan untuk sementara saya tak buka praktek baca tarot. Padahal meramal nasib orang itu fun sekali.

Hubungannya dengan April Mop? Begini: ketika membuat joke, saya biasanya akan berbohong mengenai kondisi saya atau kondisi orang lain. Makin buruk kondisinya, makin seru permainannya.

Nah jika joke itu menjadi sebuah peristiwa nyata, bukankah akan menjadi penyesalan saya seumur hidup?

[Foto-foto hasil browsing. Pertama, awan vertikal di Kobe-Jepang. Kedua, awan vertikal di Rasuna Said-Jakarta]

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.