Sebagian dari kita tak pernah tersesat. Sebagian kita pernah tersesat. Sebagian dari kita tak pernah merasa tersesat. Sebagian dari kita tetap tersesat.
Ketika saya duduk di SMP, guru agama saya dengan sangat bersemangat menjelaskan kalimat 'kun fa ya kun'. Saya sangat mencoba memahaminya. Pak Guru meletakkan sebatang kapur di atas meja. Katanya: jika Allah berkehendak untuk memindahkan kapur ini dari satu titik ke titik lain, maka apa yang diharapkan terjadi, terjadilah.
Tak ada pertanyaan, tak ada debat. Karena dogma yang kami terima memang tidak untuk diperdebatkan. Semua percaya akan kekuasaan Allah. Jika Allah menghendaki kapur itu bergerak, maka ia akan bergerak. Begitu mudahnya. Mahaperkasa Allah. Jika Allah berkehendak gunung meletus, maka meletuslah. Jika Allah berkehendak orang mati, maka matilah.
Entah apa yang terjadi, penjelasan sang guru agama saat itu sangat mengganggu saya. Saya memang tak pernah meragukan kemampuan yang dimiliki Allah, tuhan semesta alam. Namun, memindahkan sebatang kapur dari satu titik satu ke titik lain, tanpa sebuah alasan jelas, sangatlah tidak masuk akal.
Penjelasan kun fa ya kun yang tak membuat saya puas kala itu, sangat membekas di hati dan pikiran saya. Sejak saat itu saya menjadi sangat kritis dan tak mudah puas dengan berbagai penjelasan hadis dan kitab suci dari beragam orang. Termasuk dari para pendakwah. Semua tampak tidak masuk akal karena interpretasi yang dangkal dan asal.
Bertahun-tahun kemudian saya menjadi tak percaya dengan apa yang saya yakini. Saya bertanya untuk semua yang saya tahu, rasa, dan pikirkan. Namun tak jua penjelasan itu datang dan memuaskan.
Bertahun-tahun, apa yang saya yakini, pupus. Seorang sahabat bertanya: apa agamamu, Sep? Saya jawab, "Agama saya adalah semua agama."
Ketika saya mulai percaya bahwa semua agama itu sebangun, namun itu pun tak menentramkan. Lalu perjalanan baru pun saya dimulai. Saya mencari tuhan yang sebenar-benarnya tuhan. Tak kunjung terjawab. Hingga saya percaya tentang hukum sebab akibat. Ada awan maka mungkin hujan. Ada tonjokan di pipi maka mungkin pipi memar dan luka. Tak mungkin sebatang kapur tiba-tiba akan pindah dari satu ke titik lain jika tak ada yang memindahkan, jika tak ada angin yang mengelindingkan, jika tak ada kemiringan dari permukaan meja itu, jika tak ada tangan yang menggeser. Lalu pertanyaan besar itu muncul. Benarkah tuhan itu ada? Kata saya, tidak. Tuhan itu hanya legenda.
Beberapa waktu lalu saya terkapar kena malaria. Di tengah perjuangan saya melawan gejala-gejala sakit yang sangat tidak nyaman, saya dihadapkan oleh sebuah peristiwa 'menjelang kematian' yang gaib dan ganjil. Adik lelaki saya menyebutnya: proses kematian yang tertunda. Pengalaman inilah yang membuat saya tersundut. Saya seperti hanya memiliki satu pintu untuk kembali kepada satu tuhan yang pernah saya miliki dulu. Saya dihadapkan pada kuasa-Nya.
Sesadar-sadarnya, saya mengislamkan kembali diri saya. Saya merasa perlu bersaksi betapa tuhan yang layak saya sembah hanyalah Allah, tuhan yang juga disembah oleh Ibu dan Bapak dan hampir oleh semua tetangga saat saya kecil dulu. Dokter boleh bilang ini halusinasi karena demam tinggi. Saya menyebutnya inilah panggilan untuk kembalinya keimanan saya.
Ketika dihadapkan pada pengalaman 'nyaris mati sebelum mati', saya sangat takut, karena tentu saja saya belum siap berpulang. Padahal saya sedang tdak bertuhan saat itu. Saat 'kematian' itu menjelang, pengalaman sebatang kapur berpindah dari satu titik ke titik lain itu benar adanya saya alami. Kun faya kun.
Hari itu, sepanjang hari dua botol infus yang memasok cairan ke tubuh saya macet. Setelah masa 'proses kematian' itu batal, ternyata tak ada masalah dengan infus. Ketika 'proses kematian' itu tidak komplit saya jalani, saya ingin sekali menghubungi Ibu untuk meminta ampun. Handphone rusak, padahal beberapa menit sebelumnya saya mendengar banyak sambungan dan pesan masuk. Bahkan untuk membuka dan mengirim pesan pun tak bisa. Saat itu saya berpikir bahwa menghubungi Ibu saya bukanlah suatu prioritas. Ada hal lain yang perlu saya lakukan terlebih dahulu. tiba-tiba azan isya bergema. Saya tahu apa jawabnya. Saya perlu sembahyang dulu. Ajaib, setelah sembahyang, handphone mendadak berfungsi kembali.
Inilah sebenar-benarnya kun fa ya kun. Tanpa harus dicari logisnya. Tanpa harus bisa dicerna oleh pikiran sehat atau tidak. Ilmiah atau tidak. Selama ini saya lupa, bahwa tak semua hal yang berhubungan dengan ketuhanan harus betul-betul masuk akal. Begitu saya yakin, yakinlah.
Maka bertaqwalah terhadap Tuhan yang kau sembah tatkala kau mendapat 'teguran'. Bahwa tsunami besar itu pun adalah teguran. Bahwa kita kehilangan barang kesayangan kita teguran. Kita gagal ujian adalah teguran. Kita terluka atas sebuah hubungan adalah teguran. Seketika itu, ingatlah Tuhanmu. Karena dengan begitulah Tuhanmu memberi peringatan. Karena Ia tak cakap berbicara verbal akhir-akhir ini, Ia cukup menunjukkan kuasa-Nya. Maka yakinlah bahwa kau sangat Ia cintai.
Sudahkah kau pilih cara bertaubatmu: kesakitan, kehilangan, kesengsaraan, kesedihan, kegagalan?
Ketika saya duduk di SMP, guru agama saya dengan sangat bersemangat menjelaskan kalimat 'kun fa ya kun'. Saya sangat mencoba memahaminya. Pak Guru meletakkan sebatang kapur di atas meja. Katanya: jika Allah berkehendak untuk memindahkan kapur ini dari satu titik ke titik lain, maka apa yang diharapkan terjadi, terjadilah.
Tak ada pertanyaan, tak ada debat. Karena dogma yang kami terima memang tidak untuk diperdebatkan. Semua percaya akan kekuasaan Allah. Jika Allah menghendaki kapur itu bergerak, maka ia akan bergerak. Begitu mudahnya. Mahaperkasa Allah. Jika Allah berkehendak gunung meletus, maka meletuslah. Jika Allah berkehendak orang mati, maka matilah.
Entah apa yang terjadi, penjelasan sang guru agama saat itu sangat mengganggu saya. Saya memang tak pernah meragukan kemampuan yang dimiliki Allah, tuhan semesta alam. Namun, memindahkan sebatang kapur dari satu titik satu ke titik lain, tanpa sebuah alasan jelas, sangatlah tidak masuk akal.
Penjelasan kun fa ya kun yang tak membuat saya puas kala itu, sangat membekas di hati dan pikiran saya. Sejak saat itu saya menjadi sangat kritis dan tak mudah puas dengan berbagai penjelasan hadis dan kitab suci dari beragam orang. Termasuk dari para pendakwah. Semua tampak tidak masuk akal karena interpretasi yang dangkal dan asal.
Bertahun-tahun kemudian saya menjadi tak percaya dengan apa yang saya yakini. Saya bertanya untuk semua yang saya tahu, rasa, dan pikirkan. Namun tak jua penjelasan itu datang dan memuaskan.
Bertahun-tahun, apa yang saya yakini, pupus. Seorang sahabat bertanya: apa agamamu, Sep? Saya jawab, "Agama saya adalah semua agama."
Ketika saya mulai percaya bahwa semua agama itu sebangun, namun itu pun tak menentramkan. Lalu perjalanan baru pun saya dimulai. Saya mencari tuhan yang sebenar-benarnya tuhan. Tak kunjung terjawab. Hingga saya percaya tentang hukum sebab akibat. Ada awan maka mungkin hujan. Ada tonjokan di pipi maka mungkin pipi memar dan luka. Tak mungkin sebatang kapur tiba-tiba akan pindah dari satu ke titik lain jika tak ada yang memindahkan, jika tak ada angin yang mengelindingkan, jika tak ada kemiringan dari permukaan meja itu, jika tak ada tangan yang menggeser. Lalu pertanyaan besar itu muncul. Benarkah tuhan itu ada? Kata saya, tidak. Tuhan itu hanya legenda.
Beberapa waktu lalu saya terkapar kena malaria. Di tengah perjuangan saya melawan gejala-gejala sakit yang sangat tidak nyaman, saya dihadapkan oleh sebuah peristiwa 'menjelang kematian' yang gaib dan ganjil. Adik lelaki saya menyebutnya: proses kematian yang tertunda. Pengalaman inilah yang membuat saya tersundut. Saya seperti hanya memiliki satu pintu untuk kembali kepada satu tuhan yang pernah saya miliki dulu. Saya dihadapkan pada kuasa-Nya.
Sesadar-sadarnya, saya mengislamkan kembali diri saya. Saya merasa perlu bersaksi betapa tuhan yang layak saya sembah hanyalah Allah, tuhan yang juga disembah oleh Ibu dan Bapak dan hampir oleh semua tetangga saat saya kecil dulu. Dokter boleh bilang ini halusinasi karena demam tinggi. Saya menyebutnya inilah panggilan untuk kembalinya keimanan saya.
Ketika dihadapkan pada pengalaman 'nyaris mati sebelum mati', saya sangat takut, karena tentu saja saya belum siap berpulang. Padahal saya sedang tdak bertuhan saat itu. Saat 'kematian' itu menjelang, pengalaman sebatang kapur berpindah dari satu titik ke titik lain itu benar adanya saya alami. Kun faya kun.
Hari itu, sepanjang hari dua botol infus yang memasok cairan ke tubuh saya macet. Setelah masa 'proses kematian' itu batal, ternyata tak ada masalah dengan infus. Ketika 'proses kematian' itu tidak komplit saya jalani, saya ingin sekali menghubungi Ibu untuk meminta ampun. Handphone rusak, padahal beberapa menit sebelumnya saya mendengar banyak sambungan dan pesan masuk. Bahkan untuk membuka dan mengirim pesan pun tak bisa. Saat itu saya berpikir bahwa menghubungi Ibu saya bukanlah suatu prioritas. Ada hal lain yang perlu saya lakukan terlebih dahulu. tiba-tiba azan isya bergema. Saya tahu apa jawabnya. Saya perlu sembahyang dulu. Ajaib, setelah sembahyang, handphone mendadak berfungsi kembali.
Inilah sebenar-benarnya kun fa ya kun. Tanpa harus dicari logisnya. Tanpa harus bisa dicerna oleh pikiran sehat atau tidak. Ilmiah atau tidak. Selama ini saya lupa, bahwa tak semua hal yang berhubungan dengan ketuhanan harus betul-betul masuk akal. Begitu saya yakin, yakinlah.
Maka bertaqwalah terhadap Tuhan yang kau sembah tatkala kau mendapat 'teguran'. Bahwa tsunami besar itu pun adalah teguran. Bahwa kita kehilangan barang kesayangan kita teguran. Kita gagal ujian adalah teguran. Kita terluka atas sebuah hubungan adalah teguran. Seketika itu, ingatlah Tuhanmu. Karena dengan begitulah Tuhanmu memberi peringatan. Karena Ia tak cakap berbicara verbal akhir-akhir ini, Ia cukup menunjukkan kuasa-Nya. Maka yakinlah bahwa kau sangat Ia cintai.
Sudahkah kau pilih cara bertaubatmu: kesakitan, kehilangan, kesengsaraan, kesedihan, kegagalan?
Comments