Saya terbiasa pamit ke Ibu saya jika akan meninggalkan rumah, bahkan jika hanya ke rumah kerabat saya di sebrang jalang. Kebiasaan itu terus saya pelihara bahkan setelah saya tak tinggal bersama Ibu saya lagi sejak tujuh belas tahun lalu. Saya tetap berpamitan namun jika hendak ke luar kota saja. Semacam mohon doa restu dan ingin saja Ibu saya tahu kemana saya pergi. Saya percaya Ibu saya selalu berdoa di setiap habis sembahyang. Saya ingin nama saya disebut.
Salah satu pesan klasik dari Ibu adalah: "Hati-hati di jalan. Jangan melamun." Hati-hati, boleh artinya saya harus mawas diri dan bisa jaga diri. Agar terjauh dari maha bahaya, agar menjaga diri dari perbuatan yang tidak-tidak. Intinya agar saya tak terlibat dalam sebuah masalah yang bisa berdampak saat itu ataupun nanti. Jangan melamun boleh diartikan, agar saya selalu istigfar. Ingat akan Tuhan.
Namun selama ini saya hanya mengartikan bahwa saya perlu hati-hati agar tidak celaka. "Ajal itu bisa kapan saja. Di laut, di udara, di hutan, bahkan di tempat tidur." Saya maklum, Ibu saya selalu kebat-kebit tiap kali saya pamit untuk melakukan kegiatan luar rumah yang menurutnya sangat mengkuatirkan keselamatan.
Beberapa waktu lalu saya terkena malaria. Sebuah pengalaman ganjil dan gaib menghampiri. Saya dihadapkan pada sebuah 'kematian'. Meskipun mungkin hanya sekedar 'halusinasi' seperti banyak orang berspekulasi, namun saya merasakan dampak yang luar biasa besarnya.
Secara fisik sekarang saya sehat. Namun tidak psikis. Kepada sejumlah sahabat saya menceritakan gejala ini. Saya menulis ini pun, untuk sekedar melonggarkan rongga udara dalam dada saya. Saya masih sering dihantui bahwa 'proses kematian yang tertunda' yang pernah saya alami, akan berlanjut. Tinggal menunggu waktu. Dan saya kadang yakin bahwa 'kematian' itu membayangi terus, menunggu saya lengah. Maka saya perlu terus menjaga perilaku agar selalu dalam kondisi baik dan 'baik'.
Beberapa nasihat, beberapa pemikiran dari sahabat sangat membantu. Maka saya perlu menymbuhkan diri saya sendiri: Kematian itu pasti. Kapan waktunya, serahkan saja pada Tuhan. Tidak perlu berprasangka dengan semua pertanda. Kita hanya manusia biasa. Semua hal sudah ditentukan kapan dan bagaimana akhirnya. Biarlah semua terjadi sesuai haknya.
Pada sebuah doa setelah sembahyang subuh suatu hari, badan saya bergetar hebat. Air mata tak terbendung mengalir dengan deras. "Ya, Allah. Ampuni segala dosaku. Aku tak ingin berprasangka dengan kematian. Kapanpun Kau panggil aku, aku tak akan bernegosiasi lagi. Hanya satu yang aku minta, aku ingin jika itu datang, semuanya indah bagiku, bagi keluargaku, bagi sahabat-sahabatku."
Salah satu pesan klasik dari Ibu adalah: "Hati-hati di jalan. Jangan melamun." Hati-hati, boleh artinya saya harus mawas diri dan bisa jaga diri. Agar terjauh dari maha bahaya, agar menjaga diri dari perbuatan yang tidak-tidak. Intinya agar saya tak terlibat dalam sebuah masalah yang bisa berdampak saat itu ataupun nanti. Jangan melamun boleh diartikan, agar saya selalu istigfar. Ingat akan Tuhan.
Namun selama ini saya hanya mengartikan bahwa saya perlu hati-hati agar tidak celaka. "Ajal itu bisa kapan saja. Di laut, di udara, di hutan, bahkan di tempat tidur." Saya maklum, Ibu saya selalu kebat-kebit tiap kali saya pamit untuk melakukan kegiatan luar rumah yang menurutnya sangat mengkuatirkan keselamatan.
Beberapa waktu lalu saya terkena malaria. Sebuah pengalaman ganjil dan gaib menghampiri. Saya dihadapkan pada sebuah 'kematian'. Meskipun mungkin hanya sekedar 'halusinasi' seperti banyak orang berspekulasi, namun saya merasakan dampak yang luar biasa besarnya.
Secara fisik sekarang saya sehat. Namun tidak psikis. Kepada sejumlah sahabat saya menceritakan gejala ini. Saya menulis ini pun, untuk sekedar melonggarkan rongga udara dalam dada saya. Saya masih sering dihantui bahwa 'proses kematian yang tertunda' yang pernah saya alami, akan berlanjut. Tinggal menunggu waktu. Dan saya kadang yakin bahwa 'kematian' itu membayangi terus, menunggu saya lengah. Maka saya perlu terus menjaga perilaku agar selalu dalam kondisi baik dan 'baik'.
Beberapa nasihat, beberapa pemikiran dari sahabat sangat membantu. Maka saya perlu menymbuhkan diri saya sendiri: Kematian itu pasti. Kapan waktunya, serahkan saja pada Tuhan. Tidak perlu berprasangka dengan semua pertanda. Kita hanya manusia biasa. Semua hal sudah ditentukan kapan dan bagaimana akhirnya. Biarlah semua terjadi sesuai haknya.
Pada sebuah doa setelah sembahyang subuh suatu hari, badan saya bergetar hebat. Air mata tak terbendung mengalir dengan deras. "Ya, Allah. Ampuni segala dosaku. Aku tak ingin berprasangka dengan kematian. Kapanpun Kau panggil aku, aku tak akan bernegosiasi lagi. Hanya satu yang aku minta, aku ingin jika itu datang, semuanya indah bagiku, bagi keluargaku, bagi sahabat-sahabatku."
Comments
Perkara orang yg ditiiggalkan, yah kan memang resiko. Hanya ada 2 alternatif, kita duluan yg meniiggal, atau mereka duluan yg meninggal ? pilih yg mana hayo..
Dari bacaan di blog lu orangnya cepet amat kena trauma ya. Hehehe.