Skip to main content

Mimpi dari '17' ke '165'


Saya selalu berusaha mengingat mimpi-mimpi yang saya alami untuk kemudian mengartikannya. Terutama jika mimpi itu terlihat tidak biasa. Firasat meninggalnya Bapak dan seorang kakak perempuan saya, saya dapatkan lewat mimpi.

Seorang sahabat saya dulu, pernah bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu presiden Soeharto. Dia berharap mendapat rezeki besar. Karena konon, jika kita bermimpi orang besar itu sebagai pertanda akan mendapat rezeki besar. Saya turut tak sabar menunggu apa yang terjadi. Tak lama, sahabat itu mengabari saya kalau dia baru saja diterima di sebuah bank asing yang gajinya hampir tiga lipat dari yang ia terima dari bank swasta lokal tempat ia bekerja sebelumnya.

Ganti waktu ia bermimpi hal yang sama. Benar saja, tak lama sebuah promosi besar ia dapatkan. Saya turut senang. Namun diam-diam saya bertanya-tanya kemudian. Kenapa berita-berita besar itu tak mampir dalam hidup saya? Padahal, saya bermimpi bertemu orang besar begitu seringnya. Hampir semua presiden sudah pernah mampir dalam mimpi saya, termasuk Raja Jawa, termasuk Ratu Bilkis! Saya merasa ada yang istimewa dengan diri saya.
Konon lagi, jika kita bermimpi dikasih bayi, kita akan mendapat rezeki. Bagaimana jika mimpi itu datang bertubi-tubi hampir setiap malam dan selama bertahun-tahun? Wah, mestinya saat ini sudah menjadi konglomerat. Ibu saya menghibur: 'Rezeki itu tak harus dilihat melulu berupa materi." Agak melegakan namun tetap mengharap akan ada pencerahan.

Belum lama, dalam sebuah makan malam dengan sejumlah sahabat, tercetus obrolan tentang '165'. Salah seorang sahabat saya itu bekerja untuk sebuah lembaga penyelenggara ESQ. Saya sama tak mengerti tentang deretan angka 1-6-5. Namun saya merasa begitu familiar. Lalu saya interupsi. Saya pernah bermimpi tentang angka-angka itu setahun lalu. "Angka 1 menunjukkan Tuhan Allah, angka 6 menunjukkan rukun iman, dan angka 5 menunjukkan rukun Islam."
Subhanallah. Ya, Allah. Saya sesungguhnya telah diperingatkan. Namun waktu itu saya tidak mendapatkan referensi yang tepat. Saya ingat betapa tahun lalu itu saya dalam suasana banyak Tuhan.

Lalu bagaimana dengan angka 17? Saya kembali teringat ada mimpi saya yang lainnya tak lama setelah saya bermimpi tentang 165. "Tujuh belas itu jumlah rakaat sholat wajib dalam satu hari." Saya terhenyak. Sungguh, saya benar-benar telah diperingatkan. Namun tak membuat saya sadar segera kala itu.


Masih ada satu lagi. "31 Agustus?" Sahabat saya mencoba memberi kunci: "Mungkin ada hubungannya dengan sebuah surat dari Al Quran dan ayatnya?" Tak lama saya sudah membuka terjemahan kita suci.

Saya mulai mengotak-atik. Ada dua kemungkinan kelompok petunjuk: surat ke 31 (ayat 8 atau surat ke 3 ayat 18. Surat ketiga adalah Ali Imran. Ayat 18 berbunyi: Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Sedangkan surat ketigapuluh satu adalah surat Luqman. Ayat 8 berbunyi: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajian, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan.

Semoga benarlah adanya. Maka bersujudlah saya. Minta ampun karena telah menuhankan selain Dia.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.