Skip to main content

Ada Apa dengan Sony Ercsson?




Handphone saya yang sudah tiga minggu diperbaiki teknisi Sony Ericsson dan tak baik-baik, akhirnya dijanjikan akan diganti!


Saya bukan penggila gadget. Handphone mau setiap hari keluar edisi terbaru pun saya tak terlalu perduli. Asal bisa berteleponan dan berkirim-SMS, buat saya sudah cukup. Mau pakai kamera? Tak perlu.. Mau pake radio, MP3, MMS, 3G, tak terlalu penting juga.


Ketika handphone lama saya tak bangun dari siuman karena tak bisa menangkap sinyal, saya yang berkali-kali ganti handphone selalu memilih Nokia, suatu ketika ingin ganti merek. Iklan TV yang berkumandang begitu seringnya, membuat saya tergoda untuk memiliki salah satu koleksi dari Sony Ericsson.


Maka, lalu saya membeli sebuah handphone dengan kamera, radio, MP3, MMS, dan lainnya yang tak sempat saya pelajari. Gaya benar. Namun apa yang terjadi?


Sebulan atau bahkan belum, saya menmukan sebuah masalah dengan handphone baru saya itu. Beberapa kali memotret, gambar tak lagi bisa disimpan di kartu memori. Belum sempat saya mengadu ke customer service, saya menemukan masalah lainnya. Handphone saya mati total!


Saya bawa ke POS SonyEriccson di SCBD. Katanya, dalam tiga hari handphone saya sudah bisa dideteksi kerusakannya. Dua hari kemudian, saya dikabari kalau kerusakan handphone saya serius. Perlu dibawa ke kantor pusat. Maksimum dua minggu, handphone saya sudah akan kembali baik, janji teknisi yang bertugas.


Beberapa sahabat mengingatkan bahwa saya boleh meminjam handphone dari mereka selama handphone saya diperbaiki. Ya, saya dapat pinjaman. Rupanya mereka tak akan menawari kita jika kita tak meminta. Saya maklum.


Lewat dua minggu, saya tak mendapat kabar apapun. Dua kali saya telpon, mereka tak memiliki jawaban atas nasib handphone saya. Masuk minggu ketiga saya telpon lagi, mereka tetap belum memiliki jawaban tapi berjanji akan menghubungi saya balik beberapa saat lagi. Benar saja. Seseorang menghubungi saya. Handphone saya tak jelas bagaimana nasibnya, yang jelas akan diganti dengan yang baru.


Handphone baru saya, yang rusak dan tak bisa diperbaiki itu, akan diganti yang baru! Apakah saya senang? Iyalah. Bukan karena akan diganti yang baru. Tapi akhirnya saya bisa mendapat kabar dari penantian saya yang lama ini.
Timbul pertanyaan:
- Mengapa harus menunggu hingga tiga minggu? Apakah klinik mereka penuh? Banyak handphone rusak? Aih, bagaimana sebetulnya kualitas Sony Ericsson?
- Mengapa harus menunggu hingga tiga minggu? Apakah sedemikian parah handphone saya hingga tak satu teknisi pun bisa memperbaikinya segera? Tak adakah teknisi yang memiliki keahlian memperbaiki? Bahkan kemudian mereka putus asa dan akan menggantinya dengan yang baru;
- Mengapa harus menunggu hingga tiga minggu? Tak adakah standar kerja, hari ke berapa tindakan apa yang perlu diambil, hari ke berapa keputusan harus diambil?
- Kebetulan handphone saya baru dan rusak. Bagaimana jika kerusakan itu terjadi jika handphone saya sudah masuk bulan ketiga, keenam, atau sudah setahun? Apakah akan diganti juga?
- Ada apa dengan Sony Ericsson? Apakah mereka menjual produk yang sebetulnya tidak layak jual?

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.