Skip to main content

Hari Ini, 13 Mei


Ada dua orang di rumah saya yang lahir tanggal 13 Mei. Almarhum Bapak dan adik lelaki saya. Bayangkan, dua orang Taurus dalam satu rumah! Tapi karena tak ada tradisi merayakan ulang tahun, hari istimewa biasanya lewat begitu saja.

Beda lagi dengan suasana di sebuah kantor tempat saya pernah bekerja. Atasan saya lahir pada tanggal yang sama dan rutin kami merayakan ulang tahunnya. Biasalah: makan-makan. Kadang ditambah pergi ke bioskop atau karaoke atau ke luar kota atau main ice skating.

Kami sudah merencanakan akan melakukan kegiatan rutin di tanggal itu, tahun 1998. Namun karena suhu politik Jakarta yang sedang memanas, kami tak terlalu yakin bisa melakukannya. Demontrasi mahasiswa ada di mana-mana dan tak henti-henti. Jadual menjadi tentatif. Apalagi sehari sebelumnya, telah terjadi penembakan terhadap 4 mahasiswa demonstran.

Tahun 1998, saya tinggal di kawasan Grogol, bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung. Pagi itu suasana ibu kota masih mencekam. Boss besar melarang kami, team penjualan agar tidak keluar kantor untuk alasan apa pun. Demi keamanan. Atasan saya sedang berulang tahun telah membatalkan acara. Kami terus memantau aktivitas gerakan mahasiswa. Tak ada pesawat TV di kantor. Hanya mendengarkan berita lewat radio.

Massa mulai bergerak. Penjarahan mulai merebak. Saya dan sahabat-sahabat tak henti-hentinya terus saling mengabari. Saya sangat kuatir dengan sahabat-sahabat saya satu kos. Kami tinggal di sebuah rumah, berlima belas. Kecuali saya, semua penghuni kos adalah warga keturunan. Mereka ketakutan. Apalagi isu yang berkembang adalah penzholiman terhadapa warga keturunan.

Jam pulang. Saya menumpang bis jurusan Pulo Gadung-Kota melalui Diponegoro, Thamrin, Kota. Jalanan lengang. Memasuki Medan Merdeka Barat, kendaraan tidak ada yang berani menerobos. Penjarahan telah memasuki Gajah Mada, dimulai dari Grogol.

Saya berjalan kaki dari Thamrin, lewat Roxi, menuju kos di Grogol. Jalanan ramai. Saya melihat ratusan orang turun ke jalan. Sebagian berdiri menonton di sepanjang jalan. Sebagian lain melakukan pengrusakan rumah, gedung, pertokoan. Pikiran saya berkecamuk. Bukan takut akan celaka, karena saya merasa tak terancam. Saya hanya ingin cepat pulang. Berada di tengah para sahabat yang sedang ketakutan. Walaupun mungkin tak banyak yang bisa saya lakukan.

Melewati kedai Dunkin Donuts di Kyai Tapa, donat bertebaran di jalan. Saya perlu melompat-lompat agar tak menginjak donat. Kedai donat sudah porak poranda. Semakin terus saya masuk Kyai Tapa, semakin banyak saya melihat kebrutalan masyarakat merusak. Saya bergidik. Betapa mereka seperti keasukan setan. Saya melihat secara berjamaah orang-orang mencuri, mengambil beraram barang dan perabotan. Sebagian di bakar di jalanan, sebagian mereka bawa pulang. Sebuah toko bahan bangunan dirusak. Kaleng-kaleng cat digelindingkan ke jalan, isinya ditumpahkan.

Sekelompok militer berjalan sambil berbaris. Mereka membiarkan orang-orang melakukan sesuka hati. Roxy masuk utuh. Topaz masih utuh. Pos polisi masih utuh. Gedung BCA masih utuh. Saya tiba di kos dengan selamat. Saya bergabung dengan para sahabat. Kami memantau apa saja yang terjadi di pelosok Jakarta lewat TV.

Ketika sore menjelang, saya dan seorang sahabat penasaran melihat keadaan Grogol. Masya Allah, saya melihat betapa Gedung BCA, pos polisi, Topaz pelan-pelan dihancurkan dan dibakar!

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.