Skip to main content

Sepatu Saya Hilang!

Sabtu sore, saya pulang tanpa alas kaki.

Ada sebuah appointment di sebuah plaza. Sudah masuk waktu ashar ketika pertemuan selesai da saya berpisah dengan seorang supplier yang juga sahabat saya itu. Antara ingin pulang cepat atau bersembahyang di mushola plaza itu. Karena saya memang ingin pulang cepat, saya memilih pulang. Namun pikiran saya berubah.

Saya akhirnya memutuskan untuk bersembahyang di sebuah mushola tak jauh dari plaza. Mushola ini berada di halaman sebuah gedung perkantoran. Ada beberapa orang yang duduk-duduk di teras, satu orang sedang sembahyang, satu orang sedang membaca Al Quran. Tanpa kekuatiran apa-apa, saya bersembahyang.

Saya tertegun ketika mendapati sepatu saya tak lagi ada di tempatnya. Saya berkesimpulan cepat bahwa seseorang baru saja mencuri sepatu saya. Saya melapor ke penjaga parkir di sana. Kemudian pulang, tanpa alas kaki. Ada-ada saja. Dalam perjalanan pulang, saya bernostalgia dengan sepatu kanvas warna krem yang jarang saya pakai itu, yang saya dapat di sebuah distro di dekat jalan Bumi walaupun saya yakin amat kalau sepatu itu bukan buatan lokal, tempat-tempat yang pernah saya kunjungi dengan memakai sepatu itu, hingga detik-detik terakhir saya bersamanya.

Saya teringat dengan sepasang sepatu Puma yang saya beli beberapa tahun lalu. Sangat casual, saya suka sekali. Sekitar dua bulan dari tempo saya belanja sepatu itu, saya bertukar kendaraan dengan seorang kerabat. Saya sangat yakin, saya menyimpan sepatu itu lengkap dengan dusnya di bagasi. Satu hal yang saya tahu, kerabat saya itu menerima saudara-saudaranya yang lain mengunjungi sebuah tempat.

Ketika kendaraan saya kembali, saya menemukan dus Puma kosong tanpa isi di dalamnya! Saya hanya bisa mengurut dada. Tak mau ribut. Berapa juga harga sepatu itu dibandingkan dengan perselisihan yang mungkin timbul gara-gara itu.

Sahabat saya waktu SMA, lain lagi ceritanya. Ia kehilangan sepatu ketika sedang mengapeli pacarnya. Pulang pakai sendal jepit.

Ya, Gusti Allah. Mohon ampun jika saya kurang bersedekah. Mohon ampun
jikas edekah yang saya lakukan kurang ikhlas. Mohon ampun jika saya kurang
menolong sesama. Mohon ampun jika pertolongan yang saya berikan pada sesama kurang ikhlas.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.