Skip to main content

Taman Menteng: Sebuah Edukasi Merubah Perilaku

Jika Anda sering bepergian ke luar negeri seperti saya: Hongkong, United State, Prancis, Australia, Jepang... (cie...), mungkin Anda sempat berpikir mengapa kota-kota di negara kita tak bisa seindah kota-kota lain di dunia. Transportasi yang nyaman, tata kota yang rapi teratur, trotoar yang lebar dan nyaman, pertokoan dan cafe yang cozy, dan lain sebagainya. Sulit membandingkan keadaan di sini dengan di mana pun di luar sana.

Selintas kita akan menyalahkan pemerintah yang tak becus membekali para pegawainya dengan pengetahun dan ketrampilan bagaimana menata kota agar bisa sedemikian enak bagi penghuninya. Selintas kita menyalahkan sebagian warga kota yang tak mau berdisiplin menjagai kebersihan dan remeh temeh lainnya agar membuat kota indah dan nyaman bagi semua.

Lalu dibangunlah Taman Menteng yang penuh kontroversial itu. Kehadiran taman ini serta merta merubah tatanan landscape di sekitar jalan HOS Cokroaminoto, Menteng. Sepanjang jalan ini sekarang tak boleh lagi ada mobil parkir. Menteng menjadi lengang. Tukang parkir jejeritan karena kehilangan tempat mencari nafkah. Pedagang kaki lima pun sudah dilokalisir berjubel pada seruas jalan sempit antara Bank Lippo dan Menteng Plaza. Pengamen, peminta sumbangan, dan anak-anak jalanan menjadi lebih terkonsentrasi. Mereka menjadi seperti segerombolan mob yang setiap sekian detik menengadahkan tangan meminta uang.

Kawasan Cokroaminoto yang sebelumnya dikenal sebagai one stop shopping yang terintegrasi, kemana-mana dekat, sekarang tidak lagi (bagi sebagian pengunjung). Beberapa waktu lalu, begitu tiba di area itu, kita tinggal parkir, memesan makanan, memilih-milih DVD, mampir ke apotik sebentar, mampir ke swalayan sebentar, sembahyang sebentar, menjemput cucian sebentar, mengambil uang di ATM sebentar... Kini, susah menggunakan kata 'sebentar' untuk beragam aktivitas itu.

Parkir tak bisa lagi asal minggir di bahu jalan. Kita harus di gedung yang sudah disediakan di area taman. Kita harus berjalan lumayan jauh untuk mencapai semua lokasi tujuan kita.

Mempertimbangkan kondisi ini, sebagian pengunjung setia ternyata merasa perlu menimbang-nimbang dulu. Bisa dimaklumi, persoalan utamanya adalah orang kita tak terbiasa parkir di sebuah gedung lalu jalan jauh melenggang ke sana sini. Beban, kan? Maka jika hal ini dianggap sebagai sumber ketidaknyamanan, lupakan bermimpi Jakarta akan seperti kota-kota modern seperti di luar negeri!

Saya menilai bahwa Taman Menteng merupakan laboratorium bagaimana mengubah perilaku masyarakat kita yang maunya semua serba mudah. Masyarakat kita malas berjalan kaki, ogah berkeringat, geli kepanasan. Lihat saja, trotoar baru di sepanjang Sudirman, Thamrin, Kuningan yang sedemikian lebar-lebar saja tak ramai dinikmati. Perlu waktu untuk merubah perilaku masyarakat kita.

Taman Menteng dibuat sebetulnya untuk siapa? Warga sekitar atau untuk siapa saja. Well, anggaplah untuk siapa saja. Lalu manfaatnya mestinya memang untuk siapa saja. Menurut observasi yang saya lakukan, taman elok yang berada di kawasan elit itu sejauh ini lebih banyak dikunjungi masyarakat dari kelas sosial bawah dengan perilakunya yang ajaib: meludah sembarangan, membuah sampah sembarangan, mengumpat sekenanya. Sepasukan Satpam yang mestinya berjaga, malah ikut bermain futsal dengan pakaian seragamnya, melupakan tugas. Ya, di taman itu ada lapangan futsal dan lapangan basket.

Setidaknya perlu sejumlah kegiatan interaktif yang menarik di Taman Menteng agar orang mau berkunjung ke sana. Namun lagi-lagi persoalan baru akan menghadang. Taman Menteng tak cukup bergengsi untuk bisa menarik berbagai lapisan masyarakat kota jika perawatan, kerapian, kebersihan, dan keamanannya tak dipertahankan.

Dua buah rumah kaca yang didedikasikan untuk kegiatan seni, diharapkan dapat menarik kelompok menengah atas dan warga terpelajar lainnya.


Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.