Skip to main content

US=Usep Sayang



Jika Anda memperhatikan judul terbaru album Krisdayanti, penyanyi tenar yang kita miliki, ia menamainya 'Krisdayanti'. Rasanya rada ganjil jika seorang penyanyi senior yang sudah sangat populer.

Strategi menggunakan nama penyanyi sendiri untuk judul album bisanya hanya dilakukan oleh penyanyi-penyanyi baru. Mereka perlu melambungkan nama, makan sedapat mungkin namanya dijadikan judul album. Selama ini kita mengenal Krisdayanti dengan menyebutnya KD saja. untuk mempopulerkan nama KD, Krisdayanti menggunakan dua huruf singkatan namanya itu sebagai judul album yang pernah dipublikasikan. Dan sangat berhasil. Baik dari segi penjualan, maupun dari segi popularitas nama. Apalagi didukung dengan penampilan setiap minggu di Trans TV, KD Show. Kian membaptiskan bahwa KD adalah Krisdayanti.

Beberapa waktu lalu, ada sebuah iklan obat penambah darah yang memplesetkan istilah KD menjadi Kurang Darah. Cerdik sekali. Dampaknya sangat luar biasa. Di kalangan medis, kini mereka menyebut 'kurang darah' tinggal sebut KD saja. Tak tahu bagaimana signifikansi antara popularitas istilah itu dengan hasil penjualan obat yang diiklankan itu. Tak ada laporan yang dipublikasikan.

Namun tak semua pihak yang nama atau singkatan namanya diplesetkan langsung risau. Titi DJ (hati-hati di jalan) yang oleh namanya dimasukkan dalam kamus Bahasa Gaul oleh Debby Sahertian, senang-senang saja. Pun Diana Nasution (dia), Barry Prima (berak, maaf), Endang S. Taurina (Enak), hingga Titik Sandhora (hati-hati kesandung orang). Ah, Krisdayanti mungkin cemas namanya masuk kamus untuk edisi ketiga.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.