Skip to main content

Dua Puluh Tujuh Trilyun Itu Berapa Banyak, Ya?

Sahabat-sahabat saya di kantor langsung berkhayal mau begini-begitu jika punya uang segitu banyak. Obrolan ini dipicu dari sebuah pemberitaan televisi tentang harta gono gini yang mungkin bisa digondol oleh Halimah jika jadi bercerai dengan Bambang Trihatmojo.
Dua puluh tujuh trilyun. Hingga berhari-hari kemudian, di kepala saya masih saja terngiang. Ada ya, orang yang punya uang segitu banyak. Tentu saja sebetulnya saya tak perlu kaget. Setiap saat majalah Forbes mengeluarkan daftar orang terkaya di dunia. Namun berita tentang kekayaan Bambang Tri benar-benar tak bisa hilang segera di kepala.

Dari segi materi, ada orang yang memang sangat-sangat-sangat beruntung, ada yang beruntung, ada juga yang kurang beruntung, dan sangat-sangat kurang beruntung. Jika saya harus mengisi sebuah kuesioner, saya sendiri akan bingung mau pilih opsi mana. Beruntungkah? Kurang beruntungkah? Atau sangat beruntung?

Peruntungan materi memang selalu kita inginkan. Kita menilai hidup akan lebih indah jika uang berlimpah. Dengan uang banyak itu kita bisa melakukan banyak hal. Namun, seperti saya tulis di atas, tak semua orang bisa sangat-sangat beruntung.

Saya percaya, tak semua orang akan selalu memilih peruntungan materi sebagai prioritas keinginan. Ada sejumlah faktor lain yang diimpikan jadi penyeimbang. Seperti misalnya kesehatan, keberadaan pasangan, sahabat, keluarga, cinta. Intinya adalah kebahagian yang lengkap, seimbang antara materi dan cinta.

Ya, Allah. Mungkin tak banyak uang di bank yang aku miliki. Mungkin tak elok wajah aku punyai. Mungkin tak indah kekasih yang aku cintai. Mungkin tak nyaman rumah yang aku tempati. Namun aku bersyukur masih punya iman. Aku bersyukur punya orang-orang yang mencintai dengan tulus. Aku bersyukur atas harta halal yang aku miliki, sebesar apapun itu.

Aku bersyukur masih bisa bersyukur.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.