Saya melewati Salemba. Di depan Perpustakaan Nasional, saya melihat papan reklame besar dengan gambar Tantowi Yahya yang menjadi Duta Baca dan sepotong kalimat: Ibuku, Perpustakaan Pertamaku. Seketika saya teringat Ibu saya. Ibu tak pernah membacakan buku buat anak-anaknya. Ibu menuturkan dongeng.
Ibu mendongeng hampir setiap malam setelah saya dan kakak saya selesai mengerjakan PR-PR dan menjelang tidur. Ibu tidak duduk di samping tempat tidur sementara kami terbaring di bawah selimut. Ibu sambil tengkurap, mata terpejam, dan kami anak-anaknya berbagi anatomi Ibu. Kami memijat anggota badan Ibu sementara Ibu mendongeng. Saya biasanya menginjak-injak badan Ibu dari ujung kaki hingga punggung sambil berpegangan pada dinding. Kakak saya akan memijat tangan. Setiap malam.
Setiap malam dongeng akan berganti-ganti. Mulai dari Sang Kuring, Si Kancil, Bawang Merah-Bawang Putih, dll. Jika ceritanya panjang dan tak selesai dalam satu malam, dongeng akan bersambung ke malam berikutnya. Atau, kami boleh meminta Ibu menuturkan ulang dongeng-dongeng tertentu yang menurut kami menarik. Kami sepertinya ketagihan. Sepertinya kami menjadi rakus dan ingin menguras seluruh dongeng yang ada di kepala Ibu. Padahal sejumlah majalah dan surat kabar selalu Bapak bawa pulang setiap hari dan minggunya. Namun dongeng Ibu adalah cerita terbaik yang pernah saya tahu.
Saya tak pernah melihat Ibu membaca buku tentang dongeng-dongeng yang kerap ia ceritakan. Ibu mendapatkan dongeng-dongeng itu dari Nenek sewaktu Ibu kecil. Saya seperti mendapat warisan, dongeng yang diceritakan turun temurun.
Belum lama saya menonton sebuah acara televisi tayang ulang 'Legenda' yang berkisah tentang Sang Kuriang dan Dayang Sumbi. Beberapa bagian dari cerita film televisi itu berbeda dengan apa yang saya dengar dari Ibu. Dongeng Ibu menjadi referensi. Bagi saya, dongeng Ibu adalah cerita yang paling original. Maka saya berkomentar, mestinya Dayang sumbi begini-begini. Sang Kuriang mestinya begitu-begitu. Namun tentu saja saya kompromi. Namanya legenda, siapa yang menjamin kebenarannya. Karena sudah menjadi milik masyarakat, siapa pun sepertinya punya hak untuk memberi bumbu-bumbu cerita di sana-sini.
Ketika saya mulai bersekolah dan sudah bisa mengkonsumsi bacaan sendiri, peran Ibu mulai tergantikan. Apalagi kemudian, seorang kakak saya yang bersekolah lanjutan di kota, menjadi anggota Perpusatakaan Daerah. Ia boleh meminjam buka dan membawanya pulang. Buku-buku dongeng! Ajaib, dengan gambar-gambar menarik dan cerita-cerita yang tak pernah saya dengar sebelumnya! Dongeng-dongeng yang tak ada di kepala Ibu karena Nenek tak mewariskan cerita-cerita tersebut.
Setiap kali diminta untuk memijat, saya selalu punya alasan menghindar. Saya punya buku dongeng baru yang harus segera dibaca karena harus bergantian dengan Kakak selain juga harus buru-buru dikembalikan supaya bisa meminjam buku baru lainnya.
Namun Ibu tak habis akal. Ia akan mengarang cerita sendiri yang tak pernah ada di buku cerita manapun! Siang atau sore, ia akan memberi teaser, tentang cerita baru yang ia punya. Cerita-cerita seru yang berkisah tentang si Fulan bin Fulan. Selanjutnya, jika kami ingin mendengar cerita secara utuh, kami harus mau memijat. Begitulah, kembali kami ke rutinitas awal. Hingga adik saya mulai besar, berat badan saya semakin berat, peran saya kemudian digantikan oleh Adik. Dan lagi, mata pelajaran sekolah semakin hari semakin banyak.
Comments