Saya melolong bengong ketika seorang petugas dari Service Center Sony Ericsson di Kawasan SCBD bilang, untuk mengganti memory card yang rusak perlu tiga minggu. "Kamu tunjukkan tempatnya dimana, saya akan ambil sendiri." Tawar saya. Tak masuk di akal saja jika untuk mendapatkan satu keping memory card untuk cell phone saja harus menunggu tiga bulan. Tidak efisien. Jadi, saya tetap harus menunggu hingga tiga minggu kemudian.
Tiga bulan lalu saya ganti cell phone. Tiga minggu kemudian masuk bengkel Sony Ericsson di SCBD itu. Salah satu keluhan adalah, memory card tidak bisa menyimpan data. Sebulan lebih berikutnya saya baru dapat kabar bahwa cell phone saya tak bisa diperbaiki. Dijanjikan dalam satu minggu saya akan dapat penggantinya yang baru. Namun mereka cacat janji. Hingga dua kali dari waktu mereka janjikan, cell phone baru bisa saya ambil. Ternyata masih tak berfungsi dengan baik. Sepertinya memory card yg saya keluhkan tak diganti. Ah, perusahaan sohor dengan pelayanan yang buruk.
Ganti hari saya mengunjungi Oktagon. Saya mendapati beberapa buku design grafis menarik, dari sampulnya. Seminggu itu saya memang sedang berburu buku-buku demikian. Saya ke Kinokuiya, QB, hingga Aksara. Ada toko yang memang membolehkan pengunjung membaca bebas semua buku, ada juga buku yang boleh dibaca bebas asal kita minta ijin ke pramuniaganya.
Hampir semua buku yang dijual di Oktagon terbungkus plastik. Saya minta ijin seorang karyawan untuk membuka segel plastik. "Tak boleh dibuka, Mas."
"Kok, bisa begitu? Dari mana saya bisa tahu isinya sesuai dengan kebutuhan saya jika saya tak melihatnya dulu?"
"Dari sampulnya saja kan bisa ketahuan buku itu bagus apa tidak."
Mestinya saya lebih bisa menjaga kata-kata saya. Namun dengan kalimat terakhir yang karyawan itu katakan saya jadi terpancing.
"Nggak bisa begitu, dong. Kayak beli kucing dalam karung aja."
"Ini kan sistem konsinyasi, Mas. Penyalurnya minta begitu.
Jika ada plastik yang kebuka, kita yang mesti bayar."
"Bodoh amat jualan pake sistem begitu. Lebih bodoh lagi jika kalian mau menuruti maunya penyalur."
Sedetik kemudian saya istigfar. Tajam sekali kata-kata saya. Tapi karyawan itu pun ngeloyor pergi. Mungkin saya sudah menyakiti hati dia.
Saya merasa menjadi seorang jagoan ketika mengahadapi makhluk-makhluk lemah yang tak bisa berargumentasi dengan baik. Padahal belum tentu mereka selemah kelihatannya. Mereka sepertinya telah dilemahkan oleh sistem perusahaan saja. Secara pribadi, mereka bicara dengan bahasa manusia pada umumnya. Namun karena mereka diupah perusahaan, mereka harus menjalankan kebijakan perusahaan.
Kita kadang silau dengan nama sebuah perusahaan yang sudah besar. Apalagi yang sudah mendunia. Namun, perusahaan besar, kadang hanya namanya saja. Tak disertai dengan attitude lokal dan wawasan global.
Astagfirullah. Ya, Allah. Ampuni segala perbuatanku, segala perkataanku.
Setiap kali dengan mudah saya menyakiti hati orang-orang ketika saya merasa
benar.
Ya, Allah. Jauhkan saya dari sifat takabur, dengki. Semoga saya selalu
diberi kesabaran. Semoga orang-orang yang saya sakit Engkau berikan hati lapang,
memaafkan, dan Engkau naikkan derajatnya. Semoga perusahaan tempat mereka
bekerja bisa meraih keuntungan besar hingga bisa menyejahterakan para
karyawannya.
Comments