Skip to main content

Sisik Melik Susuk


Suatu ketika saya membaca sebuah koran kuning. Lalu muncullah ide tulisan ini:


Tidak setiap pagi, tapi lumayan kerap, saya menonton program siraman rohani di televisi. Biasanya tayang setelah sembahyang subuh. Pada salah satu episode yang disiarkan oleh TVRI 2, seorang ustadz berkotbah. Ia bertugas pada Bagian Keagamaan Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Saya lupa namanya.


Salah satu tugas yang ia emban adalah membantu para pasien melewati saat-saat kritis sakaratul maut. Proses melepasnya nyawa dari jasad ada yang sedemikian sulitnya karena sebab-sebab tertentu yang tentu saja hanya Allah yang tahu. Membuat mereka yang menyaksikan kuatir dan kasihan.


Menurut Bapak Ustadz itu, salah satu hal yang membuat sekarat seseorang susah karena susuk yang dimiliki oleh pasien. Susuk memang tak terlihat. Hanya orang-orang berkemampuan lebih saja yang bisa melihat seseorang memiliki susuk atau tidak. Ustadz ini yang membantu mencabut susuk. Nah, setelah susuk diangkat, umumnya pasien akan segera 'pulang'.


Pak Ustadz menambahkan, susuk tak bisa hilang begitu saja. Ia akan ada secara permanen jika tak sengaja ditarik lagi. Untuk menarik lagi, kita perlu datang ke pemasangnya. Masalah muncul jika kemudian kita pindah kota atau si Pemasang susuk itu yang pindah atau malah ia meninggal duluan dari pada kita.


Banyak alasan orang untuk memasang susuk. Namun intinya, menurut saya, adalah bersumber dari ketidakpercayaan diri. Tak percaya diri karena usaha dan penampilan diri sendiri. Lalu mengambil jalan pintas dengan pergi ke dukun untuk memasang susuk. Bentuk susuk juga rupa-rupa, ada yang berbentuk emas maupun berlian. Jangan tanya bentuk wujudnya, saya belum pernah tahu. Namun yang pernah saya dengar, cara pasangnya dengan cara gaib.


Meskipun dilarang oleh agama, namun negara kita tak pernah membuat praktek ini diharamka. Makanya banyak sekali penjaja jasa pasang susuk yang terang-terangan beriklan di surat kabar maupun di media mana saja.


Unsur gaib yang kuat dalam praktek pemasangan susuk, tak terlepas dari bantuan makhluk-makhluk gaib yang nota bene adalah jin dan semacamnya. Pernah saya berdiskusi dengan seorang sahabat. Begitu kita sepakat bekerja sama dengan jin, jin akan membantu kita selama kita meminta bantuannya. Jin akan menjadi budak kita. Mereka akan senang-senang saja.


Namun, hal yang tak pernah terungkap adalah bahwa selepas kita mati nanti, roh kita akan dikuasai oleh jin itu. Kita akan menjadi budaknya. Selamanya.


Deal?
Selamat mencoba!


:



Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.