Skip to main content

Takdir Itu Bisa Dirubah

















Dalam sebuah buku yang saya baca, saya menemukan sebuah kalimat: doa itu bisa merubah takdir. Saya tertegun. Lama sekali mengunyah kalimat tersebut agar mudah dicerna. Kalimat sederhana namun besar sekali maknanya. Takdir itu meliputi rezeki, jodoh, dan mati.

Doa. Setiap kali saya berdoa. Setiap kali saya minta didoakan. Namun doa seperti apa yang bisa merubah takdir?

Saya sangat ingat kejadian dimana saya terkapar sakit kena malaria dengan suhu badan tertinggi hingga 42 derajat celsius. Ada satu masa dimana saya merasa nyawa saya perlahan meninggalkan jasad. Begitu saya merasa hal-hal ganjil itu, saya berdoa dengan pasrahnya. Berucap sekeras-kerasnya. Saya sedemikian takut menghadapi kematian. Takut karena betapa saya tak memiliki bekal apapun untuk bisa dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta.

Dengan segala ikrar saya ingin berubah jika saya diberi tambahan umur: saya tak lagi-lagi menduakan Tuhan, tak lagi bolos sembahyang, tak lagi berbuat maksiat, tak lagi menyakiti orang lain, akan bersedekah, akan ini, itu...

Saat itulah saya merasa keajaiban bekerja pada doa saya. Saya tak jadi mati. Allah Mahamendengar. Allah Mahapemberi Ijin. Saya diijinkan untuk kembali meneruskan hidup. Entah sampai kapan. Karena tak tahu sampai kapan itulah, maka saya perlu waspada dan tak boleh lengah. Namanya ikrar, saya harus menepati. Ikrar adalah janji. Saya hanya ingin mati dalam keadaan baik, di waktu yang baik, di tempat yang baik, dengan sebab yang baik.
Jika ajal saja bisa dirubah waktunya karena doa, saya percaya bahwa jodoh dan rezeki pun bisa. Maka saya semakin khusyu untuk mendapatkan keduanya.

Ya, Allah.

Datangkan dia. Agar saya bisa lebih khusyu beribadah. Agar saya tak lagi mengerjakan perbuatan sesat sesaat.

Limpahkan. Agar saya bisa lebih khusyu beribadah. Agar saya bisa banyak membantu orang-orang yang kesusahan.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.