Skip to main content

When Size Does Really Matter


Suatu ketika saya membaca sebuah koran kuning. Lalu muncullah ide tulisan ini:


Tak hanya kaum pria yang selalu risau dengan ukuran, namun juga kaum perempuan. Sebetulnya ukuran seperti apa yang ideal? Sebesar apa yang indah, menyenangkan, dan mententramkan? Kecil, sekecil apa yang tak memalukan namun tetap mententramkan?


Seorang sahabat kecil saya, merengek ke orang tuanya minta berhenti sekolah waktu masih di Sekolah Dasar. Alasannya, malu karena ukuran payudaranya sangat besar. Padahal teman-teman perempuan lainnya punya saja belum. Hm, maksud saya belum terlalu terlihat. Ukuran yang bengkak ini selalu menjadi bahan ledekan murid-murid pria.


Ukuran payudara yang terlalu besar juga pernah dianggap sangat mengganggu oleh artis Ria Irawan. Namun tokh, tak semua perempuan terusik dengan gunung raksasa di dadanya. Banyak juga dari mereka yang berbondong-bondong memperbesar ukuran untuk tujuan tertentu.


Jika kaum perempuan ribet dengan ukuran buah dada, yang dihiraukan pria apalagi kalau bukan ukuran Mr. P.


Konon, ukuran rata-rata Mr. P orang Asia dianggap paling kecil dibanding ukuran pria dari ras manapun. Mungkin juga. Bandingkan saja ukuran badan kita, memang lebih kecil dari mereka. Tapi apakah ukuran badan signifikan dengan ukuran Mr. P. Apakah yang berbadan bongsor akan selalu memiliki ukuran lebih besar dari mereka yang ukuran badannya biasa-biasa saja. Ah, saya belum membuat penelitian. Kita bisa tanya pelacur Mangga Besar jika perlu.


Ada dua dorongan yang kemudian menggiring kaum pria untuk perduli sama ukuran Mr. P yang mereka miliki. Pertama karena keinginan sendiri, kedua karena keinginan pasangan. Selama masih banyak pihak yang menawarkan pengobatan dan alat untuk memperbesar ukuran Mr. P, maka masih akan banyak pula pria yang menjadi pasien.


Ada dua alasan besar mengapa pasangan suami isteri bercerai: uang dan seks. Padahal perselingkuhan mestinya menjadi isu penting, namun sering ditutupi baik oleh penggugat maupun yang digugat cerai, uang dan sekslah yang menjadi penyebab. Sebagian wanita menganggap bahwa seks hebat itu harus dengan ukuran Mr. P yang besar.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.