Skip to main content

You Are the People You Meet

Suatu ketika saya membacakan kartu tarot untuk seorang sahabat. "Peruntungan loe sangat signifikan dengan kedekatan loe sama Sang Pencipta. Semakin dekat, rezeki akan mengalir deras, semakin jauh akan makin seret." Saya mencoba menjelaskan bagaimana pola peruntungan dia. Menuruti omongan saya, ia mulai rajin beribadah.


Beberapa masa kemudian, saya terkena malaria. Sesuatu hal terjadi, yang membuat saya membuat 'kontrak' dengan Sang Pencipta untuk bertobat. Maka saya mulai merapikan jadual ibadah saya.


Ketika saya bertemu dia lagi, saya mendapati perubahan yang banyak dari dia. Perubahan ke arah positif, tentunya. Mulai dari pola pikirnya, hingga perilakunya. Ia pun berpendapat hal sama tentang saya. Lalu dia bererita tentang kekasih barunya yang juga rajin beribadah, sahabat-sahabat barunya. "Kenapa, ya? Aku sekarang dikelilingi orang-orang yang pada tobat," tanyanya.

"Kamu adalah orang-orang yang kamu temui," kata saya. Perlu sedikit menjelaskan kalimat saya itu sebelum akhirnya sahabat saya itu manggut-manggut.


Saya berkilas balik. Waktu saya sangat jatuh cinta sama fotografi, dengann sedikit usaha, saya dikelilingi orang-orang dengan cinta yang sama. Waktu saya gemar menjelajah alam pun demikian. Waktu saya sering marah karena ketidakpuasan terhadap suatu hal, yang saya temui hanyalah orang-orang membosankan dengan berbagai keluhan dengan pikiran negatif.

Menyadari itu, pelan-pelan saya melakukan perubahan. Ah, saya hanya ingin berpikiran dan berkelakuan positif. Supaya energi yang saya hasilkan positif pula. Biar hanya orang-orang berenergi sama yang mendekat. Hingga saya terselamatkan.


"Ya, Allah. Jauhkan aku dari orang-orang dzolim. Sekarang dan
selamanya."

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.