Skip to main content

YPC = Yayasan Piknik Celalu

Sepertinya hobi jalan-jalan saya sudah terbina sejak dulu. Zaman saya masih kuliah, hampir setiap minggu, saya dan sahabat-sahabat se-gang jalan-jalan. Entah itu sekedar di dalam kota, maupun luar kota. Kadang juga satu kelas. Bahkan lintas program study! Saking seringnya piknik, saya lalu mendirikan yayasan: Yayasan Piknik Celalu.

Bubar kuliah, masuk dunia kerja. Pelan-pelan saya menghimpun rekan kerja yang sehobi. Kembali saya mendirikan yayasan yang sama. Anggotanya makin lama makin banyak. Tak sekedar tempat-tempat sekitar Jakarta yang kami kunjungi, juga luar kota dan luar negeri.

Ketika saya melanjutkan kuliah ke tingkat post graduate, kebetulan saya dikelilingi sahabat yang gemar jalan juga. Maka YPC saya kembali kibarkan.

Pertengahan 2003, saya bergabung dengan Sahabat Museum. Kali itu, jalan-jalannya hanya seputar kawasan tua Jakarta. Pertengan 2004, Nature Trekker bediri dan saya ikut gabung. Maka laut, hutan, gunung, satu per satu saya rambah.

Diam-diam, saya menginginkan yayasan yang bukan untuk penyandang cacat ini kembali berkibar. Namun sepertinya untuk sementara harus saya endapkan dulu. Saya sedang berkomitmen untuk mengisi hari libur yang biasanya untuk jalan, namun saya isi dengan bekerja.

Comments

Popular posts from this blog

Out of The Box

Saya sedang tidak berminat berpaguyuban. Saya ingin banyak meluangkan waktu sendiri. Melakukan banyak hal yang berbeda dari biasanya, menemukan komunitas baru, dan lain sebagainya. Pelan-pelan saya melepaskan ketergantungan dari riuhnya pertemanan yang hiruk pikuk: bergerombol di cafe, bergerombol di club, bergerombol di bioskop. Waktu seperti menguap tanpa kualitas. Belakangan, saya jadi punya banyak waktu untuk mengecilkan lingkar perut, banyak waktu untuk membaca buku, membiarkan diri saya melebur dengan komunitas dan teman-teman baru, dan yang lebih penting, saya bisa punya waktu untuk mengamati diri saya. Sekedar merubah pola.

Billboard Udud

Pemprov DKI serius untuk menelikung para perokok aktif. Setelah mengeluarkan larangan merokok di beberapa kawasan, disusul dengan larangan beriklan bagi produsen rokok di jalan-jalan protokol. Mestinya, mulai Maret lalu, billboard iklan rokok yang semarak di sepanjang Sudirman, Gatot Subroto, dll itu tak sudah tak boleh lagi terpasang. Namun, pengecualian bagi pemasang iklan yang masa tayangnya belum habis, ditunggu hingga akhir masa kontrak. Sesederhana itukah? Seperti bisa ditebak, larangan-larangan apa pun yang diberlakukan pasti selalu diikuti sebuah koalisi kolusi. Tak ada hukuman bagi pengiklan iklan yang masih memasang billboardnya di sana walaupun tenggang waktu sudah terlewat. Yang terjadi adalah, adanya perpanjangan kontrak sebelum tenggang waktu itu habis. Sehingga iklan-iklan rokok itu akan terus terpasang selama masa kontrak yang diperpanjang. Jika perlu, kontrak untuk jangka waktu hingga masa kepemimpinan Sutiyoso berakhir. Sambil berharap, pemerintah provinsi yang baru a...

Payudara di Televisi Kita

Stasiun televisi kita, makin sering menampilkan program tv dengan bumbu payudara. Mungkin untuk menarik minat penonton. Semakin banyak penonton yang menyaksikan tayangan-tayangan mereka, rating acara akan membumbung, dan pengiklan datang. Namanya kompetisi, ya, bo. Tengok saja panggung dangdut, panggung penari, peragaan busana, hingga seserahan sambutan pun tak luput dari sajian payudara. Beberapa siaran langsung, lainnya siaran tunda. Katakan, 'munculnya' payudara di acara tersebut adalah sebuah insiden. Sangat maklum jika kejadian tersebut terjadi pada siaran langsung. Namun jika tayangan itu bukan langsung dan masih juga kecolongan? Please, deh. Jika peristiwa-peristiwa itu memang tak dikehendaki bersama, demi amannya, apa sebaiknya pihak stasiun membuat rambu-rambu khusus perihal busana seperti apa saja yang boleh digunakan oleh siapapun yang akan disorot kamera? Tentunya tanpa harus memasung demokrasi berekpresi.