Akhir tahun 2006 saya putuskan untuk tidak membuat resolusi macam-macam. Seolah saya tak punya ambisi, saya ingin menjalani hidup apa adanya. Apa yang datang itulah milik saya. Namun sebelum Januari 2007 berakhir, diam-diam saya merangkai resolusi juga. Cukup satu: saya ingin dipertemukan dengan seorang perempuan yang kelak ingin saya peristeri.
Februari salah seorang mantan pacar minta bertemu. Meskipun sudah putus hubungan sebagai kekasih, kami masih bersahabat. Ia bilang, mau menikah dengan kekasih barunya. Tak terlalu kaget karena ia sudah sering mendiskusikan hal ini dengan saya sebelumnya. Namun tetap saja membuat saya tertegun. Dalam hati, saya ingin mengikuti jejaknya.
Lalu tiba-tiba seorang sahabat pria saya mengirimkan SMS. Ia akan menikah! Sinting! Saya kaget luar biasa. Ia salah satu sahabat terdekat saya. Meskipun sama-sama tinggal di Jakarta dan bertemu pun mungkin hanya setahun sekali, namun kami merasa sangat-sangat dekat. Secara emosi, kami memang saling men-support. Saya mengomeli dia dan nyaris tak mau datang ke pesta perkawinannya. Beritanya sangat mendadak. Dan itu artinya saya akan sangat kehilangan dia! Dari mana lagi saya akan mendengar petualangan-petualangan nakal seorang lelaki metropolis kecuali dari dia?
Sehari kemudian, kembali saya mendengar berita tak sedap, padahal mestinya saya ikut berbahagia. Seorang sahabat perempuan saya akan menikah juga! Aaargh! Marah rasanya. Mengapa semua orang pergi menikah? Saya sedih.
Saya kecewa. Namun pelan-pelan saya mencoba menerima kenyataan. Saya ingin turut berbahagia. Apalagi ketika kemudian saya baru dikabari bahwa pernikahan sahabat pria saya tadi itu cuma guyonan saja. Saya baru sadar bahwa ternyata ia menyebut tanggal 29 Februari. Padahal Februari tahun 2007 hanya terdiri dari 28 hari. Sinting!
Tiga berita pernikahan dalam seminggu. Hati saya tercekat. Kapan giliran saya?
Dari Ibu, saya mendapat nomor telepon seorang kerabat. Ibu bilang, kerabat itu punya seorang anak perempuan yang mungkin bisa cocok dengan saya. Hahaha. Bukan gaya saya menerima campur tangan orang lain dalam urusan perjodohan. "Buat silaturahmi saja. Ngga usah dipikirkan mesti jadi atau tidak." Saya mengenang kata-kata Ibu waktu itu.
Beberapa kali saya telepon ke orang tua perempuan yang masih kerabat itu. Tentu saja saya menelpon ke orang tuanya terlebih dahulu karena anaknya sendiri tak tahu 'gerilya' kami. Saya berjanji untuk datang ke rumah mereka. Saya tak perlu apriori apalagi berprasangka buruk. Siapa tahu memang inilah jalan yang diperlihatkan Allah. Saya perlu konsekuen. Ingin mendapat jodoh, harus usaha. Namun belum sempat saya berkunjung, saya terkena malaria dan harus dirawat di rumah sakit beberapa hari plus seminggu penuh di rumah untuk istirahat.
Setelah kesehatan saya pulih, mulai saya menyambangi perempuan itu.
Sejak sakit itu, intensitas saya beribadah mulai kerap. Saya pun jadi sering berdoa. Salah satu doa yang saya panjatkan adalah meminta Tuhan mengirimkan jodoh buat saya: jika tak ada, adakan. Jika jauh, dekatkan. Jika sulit, mudahkan. Lalu muncullah perempuan lain. Sebetulnya ia sahabat saya sejak lama.
Setiap saat saya berdoa minta diberikan petunjuk. Maka segala sesuatu yang bergerak adalah petunjuk. Segala sesuatu yang berdesing adalah petunjuk. Perempuan kedua itulah yang kemudian secara kuat menyesaki rongga hati dan pikiran. Hingga akhirnya terbersitlah 070707: saya menikah!
Mohon doa restu dari semua.
Buat Ingrid, Dono, dan Alma: terima kasih. Tanpa kalian sadari, kalian yang telah memecut saya hingga pada level setinggi ini. Tuhan memberkati.
Comments