Saya mendapat kesempatan untuk menjadi penguji ahli pada presentasi karya ilmiah mahasiswa tingkat akhir pada sebuah universitas negeri di Jakarta belum lama ini. melihat wajah para mahasiswa satu per satu, saya jadi ingat sekian tahun lalu. Sayalah yang diuji untuk mempertahankan hasil penelitian. Mungkin waktu itu saya juga deg-degan.
Saat-saat yang mendebarkan. Lulus apa tidak, bernilai tinggi apa tidak. Deg-degan ketika ujian akhir. Sama deg-degannya ketika mengikuti ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru. Di komunitas dan lingkungan saya, bisa masuk perguruan tinggi negeri menjadi gengsi tersendiri.
Lulus SMA, satu hal yang saya pikirkan adalah bagaimana masuk perguruan tinggi berbiaya murah. Solusinya saya harus bisa masuk ke perguruan tinggi negeri. Orang tua saya bukan pemilik uang yang banyak. Saya mesti tahu diri. Konsekuensinya, saat itu saya tak memilih jurusan sesuai dengan minat, yang penting masuk perguruan tinggi negeri. Namun demikian, tetaplah saya tak harus menutup mata benar-benar.
Maka saya berusaha mengadu nasib. Mulai dari ikut UMPTN, tes Akademi Kimia Analis (AKA), Bogor, padahal nilai-nilai kimia saya tak pernah bagus, hingga ikut tes di IAIN, Ciputat.
Saya berdua dengan seorang sahabat mendaftar ke AKA. Karena mendaftarnya di meja yang berbeda, kami mendapat nomor ujuian yang terpaut jauh. Ketika hari ujian tiba, kami terperanjat senang karena ternyata kami duduk satu bangku. Tiba-tiba saja ide gila muncul. Kami berkonspirasi untuk mengerjakan soal secara bersama-sama. Nomor sekian hingga sekian saya yang menjawab, sementara sahabat saya nomor-nomor sisanya. Atas pembagian kerja begitu, kami memiliki waktu lebih banyak untuk mengerjakan setiap soal.
Ah, lega rasanya ketika bel tanda selesai berbunyi, kami bisa mengerjakan semua soal dengan sangat santai. Di perjalanan pulang, kami berdiskusi mengenai soal-soal ujian yang kami kerjakan, sambil tak lepas-lepasnya tersenyum puas betapa beruntungnya kami mendapat peluang duduk sebangku selama ujian. Sayang, soal ujian tidak boleh dibawa pulang. Kami berjanji untuk melakukan hal yang sama di ujian hari kedua.
Esoknya, kami sudah siap menghadapi soal-soal berikutnya. Ketika lembar soal sudah boleh dibuka, satu per satu saya baca. Saya lirik lembar soal yang dipegang oleh sahabat saya. Ada yang aneh. Pada nomor pertama lembar soal milik saya tercantum rangkaian molekul sementara pada lembar soal milik sahabat saya tak ada gambar apa pun.
Sinting! Sepertinya kami dikerjai. Soal-soal ujian untuk peserta baris kiri dan kanan rupanya beda! Saya langsung lesu darah.
Satu-satunya jurusan yang mungkin saya pilih di IAIN adalah jurusan Bahasa Inggris. Konon, jika saya diterima di sana, saya akan menjadi angkatan terakhir dari lulusan SMA umum yang mengambil jurusan Bahasa Inggris di IAIN karena setelah itu jurusan ini hanya menerima calon mahasiswa dari lulusan madrasah saja.
Ujian baru mau mulai, saya diusir oleh penjaga ujian karena menggunakan kaos tanpa kerah. Boleh masuk jika saya melapor dulu ke bagian piket.
Ada beberapa mata pelajaran yang dites: bahasa Inggris, bahasa Indonesia, pengetahuan umum, dan bahasa Arab. Saya memang bisa membaca tulisan Arab, gundul sekalipun. Namun saya tak mengerti artinya. Untuk soal-soal berbentuk pilihan, saya tak terlalu direpotkan. Tinggal menyilang salah satu pilihan, bukan? Tapi bagaimana dengan soal-soal berbentuk esai? Soalnya berbentuk tulisan Arab yang tak saya mengerti terjemahannya. Namun biar tak kosong melompong, saya isi saja dengan tulisan-tulisan Arab yang sudah saya hapal di luar kepala seperti misalnya: insyaallah, alhamdulillah, bismillah...
Ketika kelas bubar, saya mulai bertanya sama peserta tes terdekat. sinting. Ternyata soal-soal berbahasa Arab itu hanya menanyakan hal-hal mudah, seperti 'siapakah nama Anda?', 'dimanakah Anda tinggal'?
Bayangkan, untuk pertanyaan 'siapakah nama Anda?', saya menjawabnya dengan 'insyaallah'. Dasar bodoh. Pantes saja saya gagal.
Comments