Maka datanglah seorang perempuan yang dikirimkan Allah. Saya percaya inilah jawaban doa yang kerap saya panjatkan. Terima kasih, ya, Allah.
Dengan serendah-rendahnya hati menerima, saya tutup mata rapat-rapat. Tak ingin 'mata duniawi' menilai, memilah kekurangan-kekurangan yang ia miliki. Jika dulu pernah saya sesumbar, perempuan yang menjadi pasangan hidup saya harus ber-body begini, berkulit begini, berotak begitu, berperilaku ini itu, berpendidikan ini, berpandangan itu...
Namun kembali saya menunduk sedalam-dalamnya menunduk. Saya tak mau berprasangka. Saya hanya percaya inilah sosok yang terkirimkan, yang terbaik buat saya. Mungkin ia tak sepintar yang saya harapkan, namun saya tetap menerima karena Allah tak menghendaki kami saling bersaing. Mungkin ia tak seaduhai yang saya harapkan, namun saya tetap menerima karena saya yakin Allah lebih menghendaki saya yang paling indah.
Mungkin jika saya bertanya pada perempuan itu, ia akan jujur juga bahwa bisa jadi saya bukan idealnya. Lalu buat apa perlu berkeringat membandingkan?
Lalu pertanyaan itu datang. "Dari mana datangnya cinta jika kau tak memanfaatkan kesempatan untuk memilih?" Maka saya akan membuka hati selebar-lebarnya. Membuka pikiran selebar-lebarnya. Membuka tangan selebar-lebarnya. Semesta adalah bejana subur untuk memupuk perasaan, apapun: benci, kasih, cinta.
Setiap molekul yang terlepaskan adalah benih yang siap tumbuh. Hati, pikiran, dan tangan saya sudah terbuka sedemikian lebarnya. Saya tinggal memberi pupuk bernama keikhlasan dan menyiramnya dengan air ketulusan.
Comments