I
"Will you marry me?" Seorang pria bertanya pada teman perempuannya. Sang teman tidak bicara apa-apa. Hanya tersenyum. Namun sejak itu hubungan mereka terlihat mulai mendekat. Namun si Lelaki belum mendengar jawaban apa pun dari teman perempuannya itu hingga berbulan-bulan kemudian.
"Will you marry me?" Seorang pria bertanya pada teman perempuannya. Sang teman tidak bicara apa-apa. Hanya tersenyum. Namun sejak itu hubungan mereka terlihat mulai mendekat. Namun si Lelaki belum mendengar jawaban apa pun dari teman perempuannya itu hingga berbulan-bulan kemudian.
Si Lelaki kian sibuk dari hari ke hari. Ia kembali ke kampus untuk mengambil gelar akademik yang lebih tinggi. "Aku tak suka kamu posesif. Apa yang aku lakukan sekarang ini adalah investasi masa depan, with or wthout you. Kalau kamu tak mau beradaptasi, just go." Si Lelaki membuat maklumat ketika menyadari teman perempuannya yang ia pacari namun belum memberi jawaban apakah mau dinikahi atau tidak itu mulai memberi banyak batasan. Si Perempuan mulai melunak. Hubungan mereka membaik kembali. Namun tak berlangsung lama. Si Perempuan kembali ke sifat asalnya.
Maka maklumat itu jatuh. Putus! Si Perempuan berdarah-darah untuk menyelamatkan hubungan. Namun Si Lelaki telah menutup mata. Tak semua lelaki punya ambang kesabaran dalam menghadapi sifat-sifat perempuan, ternyata.
II
"Will you marry me?"
"Situ emang udah punya rumah?"
III
"Will you marry me?"
"Kalo lo udah punya apartment, bolehlah..."
III
"Saya hanya seorang muallaf. Belum pantas menjadi imam untuk kamu, Nyai," ujar seorang lelaki kepada teman perempuannya.
"Kita bisa sambil belajar, Kang. Saya juga tak banyak tahu tentang agama."
"Saya tak memiliki banyak kekayaan untuk menjamin hidup kamu, Nyai."
"Kita bisa cari bareng, Kang."
"Saya jelek."
"Ah, Akang. Akang paling ganteng sedunia, kok."
"Kamu yakin mau hidup bareng sama Akang sampai aki-aki dan nini-nini?"
"Iya, Kang."
"Kalo gitu, kita tak perlu buang waktu. Nyai mau nikah sama Akang?"
"Mau, Kang."
IV
Dragon Fly suatu malam. Waktu terus merayap. Hingar bingar musik memadati ruang suam-suam cahaya. Asap rokok, semerbak alkohol, geliat tetamu di lantai dansa. Sepasang kekasih bercumbu panas di atas sofa. Muka-muka pesohor yang biasa menghiasi media hilir mudik melintas menyapa kenalan: artis, pejabat, anak pejabat, pengusaha, anak pengusaha, orang asing...
Semua orang tertawa. Semua orang seolah gembira. Seorang lelaki berdiri tenang. Ingatannya mengembara ke tahun-tahun silam di mana hampir setiap akhir pekan ia habiskan waktu di tempat-tempat seperti itu.
Aroma pagi menitik pada jarum jam. Seorang DJ masih dengan semangatnya memompa adrenalin para pedansa. Semua orang di dalam ruangan sepertinya tak bisa menghindar untuk menggerakkan anggota badannya. Namun Lelaki itu masih tak bergeming. Ia menunduk dalam.
Ya, Allah. Tanpa ijin-Mu, aku tak akan pernah berada di tempat seperti ini. Aku melihat mereka, aku mendengar mereka. Aku belajar dari mereka. Maka aku ingin berpamit pada mereka. Sudah cukup pelajaran yang aku ambil dari mereka. Biar hari ini dan hari-hari kemarin akan menjadi masa laluku. Aku tak ingin terus menjadi seperti mereka. Selamatkan aku, ya, Allah."
Lelaki itu kemudian bergegas. Ia pilih tempat hingar-bingar itu sebagai simbol kelam masa lalunya. Ia ingin berganti 'baju'. Menjadi insan baru yang dibenarkan.
Comments